Minggu, 02 September 2012

MEGKRITISI HADIS YANG DIKLAIM MISOGINIS

HADIS TENTANG RELASI SUAMI ISTRI DALAM KELUARGA

(bagian 1 dari 2 tulisan)

Lihatlah dimana posisimu dalam pergaulanmu dengan suamimu,
karena dia adalah surga dan nerakamu. (HR. Ahmad)

A. Pendahuluan



Misoginis merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris “misogyny” yang berarti “kebencian terhadap wanita”[1]. Klaim adanya unsur misoginis dalam hadis dipopulerkan oleh Fatima Mernissi[2] dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry[3] untuk menunjukkan hadis-hadis yang dianggap membenci dan merendahkan derjat perempuan serta mempertahankan budaya patriarkhiKajian hadis misoginis menjadi topik yang selalu hangat dibahas dewasa ini, seiring dengan pembahasan kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia dalam pelbagai aspek kehidupan yang berimbas pada pembahasan agama.

Para aktivis feminis –baik radikal maupun liberal- kemudian mengusung ide rekonstuksi pemahaman hadis, sebagaimana mereka juga gencar menyuarakan ide rekonstruksi penafsiran Al-Quran. Rekonstruksi terhadap pemahaman hadis, dengan hermeneutika hadis berspektif jender, mencakup lima tahap: memahami hadis dari aspek bahasa, memahami konteks historis munculnya hadis, mengkorelasikan secara tematik-komprehensif dan integral dari data lain, memaknai teks dengan menyarikan ide dasarnya, dan analisis jender dengan mengaitkan relevansinya dengan konteks saat ini[4]. Banyak sekali hadis yang dianggap misoginis oleh kalangan feminis baik dalam ranah ideologi, ibadah, keluarga, atau publik. Disini penulis hanya akan mengulas dua hadis yang berkaitan dengan relasi suami istri dalam keluarga, yang paling sering diklaim tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
B. Hadis tentang perintah wanita sujud pada suaminya jika dibolehkan sujud pada selain Allah
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ ».[5]

Fatima Mernissi dalam buku Setara di Hadapan Allah (terj) mengkritik dan menolak matan hadis tentang istri sujud kepada suami, karena menurutnya Islam sebagai agama monoteis tidak membenarkan seseorang menyembah sesuatu selain Allah[6].

Kajian Sanad Hadis
Setelah dilakukan takhrij hadis, maka didapatkan beberapa jalur periwayatan hadis diatas, yang bersumber dari 6 orang sahabat, yaitu:
  1. Qais bin Sad yang diriwayatkan oleh Abu Daud[7], salah satu periwayatnya adalah Syarik bin Abdullah al-Qadi, ia adalah seorang mudallis[8], ia mentadliskan hadis-hadis munkar dari orang yang tidak ada kebaikan pada mereka menjadi orang-orang yang tsiqah[9], akan tetapi Muslim mengeluarkan hadis Syarik dalam al-Mutaba’at sehingga ia dikuatkan dengan itu.[10] sementara al-Albani menyatakan hadis ini adalah shahih kecuali matan tentang kubur di dalam hadis tersebut.[11]
  2. Abu Hurairah adalah hasan gharib[12] menurut at-Tirmizi[13] dan menurut Abu Musa hadis ini gharib dari segi periwayatan Muhammad bin Amru dan dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.[14]
  3. Anas bin Malik yang riwayat al-Nasai dengan sanad jayyid, semua rawinya tsiqat dan masyhur.[15]
  4. Hakim yang meriwayatkan hadis Muaz bin Jabal menyatakan bahwa sanad hadis tersebut adalah shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim tetapi mereka tidak mengeluarkan hadis tersebut[16].
  5. Abdullah bin Abi Awfa riwayat Ibnu Majah sanadnya adalah shalih atau baik, rawinya Azhar bin Marwan dan al-Qasim al-Syaibani berstatus shaduq[17].
  6. Aisyah yang riwayat Ibnu Majah semua rawinya selain dari Ali bin Zaid bin Judan adalah rawi  hadis-hadis shahih[18] karena Ali bin Zaid bin Judan adalah rawi yang dha’if [19]. Namun al-Albanimenyatakan hadis tersebut shahih kecuali ayat: “meskipun jika suami menyuruh istrinya untuk pindah dari gunung merah ke gunung hitam…hingga akhir hadis”.[20]
Kesimpulannya sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syaukani dalam kitabnya Naylu’l Awthar adalah bahwa sebagian riwayat menjadi syahid terhadap riwayat lain sehingga semuanya saling menguatkan satu sama lain[21]. Jadi hadis ini dapat diterima, kecuali beberapa kalimat dalam matan hadis yang ditolak berdasarkan pendapat ulama di atas.
Kajian Matan Hadis
1. Asbab Wurud Hadis
Latar belakang munculnya hadis ini adalah ketika Muaz bin Jabal kembali ke Medinah dari Syam. Dia langsung sujud kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam karena dia melihat kaum Nasrani di Syam sujud kepada uskup-uskup dan pastor-pastor mereka, dia berfikir bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak untuk mendapatkan penghormatan dengan bersujud kepada beliau, lalu Rasulullah mensabdakan hadis ini.  “Janganlah kalian lakukan, andai aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah, maka akan aku perintahkan istri sujud kepada suaminya. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggamannya, seorang istri belum menunaikan hak Tuhannya sehingga dia menunaikan hak suaminya”[22]. Dalam riwayat lain; “Seorang istri belum merasakan kemanisan iman sebelum menunaikan hak suaminya”[23]. Lantas, benarkah matan hadis ini mengandung unsur penghambaan istri kepada suami?
2. Analisis Bahasa
Bila dikaji dari segi pemakaian bahasa, sujud dapat diartikan menjadi dua macam. Pertama, sujud ibadah yang berarti penghambaan dan hanya boleh ditujukan pada Allah. Kedua, sujud sebagai penghormatan yang diperbolehkan untuk selain Allah. Hal ini didasarkan pada sujudnya para malaikat dengan tunduk dan tawadu’ sebagai penghormatan kepada Adam ‘alaihi salam karena ilmu yang telah Allah ajarkan kepadanya. Sehingga malaikat bersujud untuk mengikutinya sebagai imam karena dia adalah khalifah Allah.[24] Ini juga bentuk aplikasi ketaatan malaikat terhadap perintah Allah subhanahu wa ta'ala. Selain itu, sujud sebagai penghormatan juga terdapat dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihi salam:([25]
Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi seorang istri dalam melaksanakan hak suaminya karena sujud kepada manusia tidak diperbolehkan[26].
Secara eksplisit hal ini dapat dilihat dari ungkapan Rasulullah dengan memakai kata “law” atau “jika”, sehingga makna sujud disini bukanlah bermaksud perintah, melainkan hanya sekedar perumpamaan atau pengandaian yang mengindikasikan betapa besarnya kewajiban istri dalam menunaikan hak suaminya[27]. Oleh sebab itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengemukakan perumpamaan; andaikan dalam umat beliau seseorang diperbolehkan sujud memberi hormat pada orang lain, maka beliau tidak akan menyuruh untuk sujud menghormati pemuka agama, tetapi yang lebih pantas diperintahkan sujud adalah para istri untuk menghormati suami mereka disebabkan tingginya hak suami terhadapnya.
3. Perbandingan dengan ayat Al-Quran
Sebagian feminis liberal juga menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan ajaran moral yang substansial dalam al-Quran yang menggariskan konsep kesetaraan antara suami istri, dimana posisi mereka di hadapan Allah adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan semata. Tudingan ini disangkal oleh ayat al-Quran sendiri, karena Allah swt juga telah mengisyaratkan kelebihan derjat yang dianugrahkan kepada para suami melebihi para istri sebagai konsekwensi atas tanggungjawab yang diembankan di pundak suami terhadap keluarganya, seperti dalam firman-Nya:
 ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم ÇËËÑÈ [28]
Muhammad Abduh dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat ini adalah ungkapan agung tentang kaedah umum persamaan hak wanita dan lelaki, dan Allah swt telah melebihkan lelaki satu tingkatan dibanding wanita. Maka, ayat ini merupakan ukuran bagi suami untuk menimbang sikap dan pergaulannya terhadap istrinya. Seharusnya dia mengingat kewajibannya kepada istrinya dalam semua urusan dan keadaan sebelum menuntut sesuatu dari istrinya. Oleh sebab itu, Ibn Abbas berkata: “Aku berhias untuk istriku sebagaimana dia berhias untukku, karena adanya ayat ini”. Namun, persamaan disini bukanlah persamaan eksistensi sesuatu dan persamaan sifatnya, tetapi maksudnya adalah bahwa hak-hak antara mereka saling melengkapi dan saling menggantikan. Tidak ada sesuatu pekerjaan yang mesti dilakukan oleh istri, melainkan seorang suami juga harus melakukan yang seimbang dengannya. Tidaklah adil jika salah satu pihak bartindak sesuka hati dan menindas pihak lain seperti hamba sahaya yang harus melayani segala keperluannya. Terlebih lagi setelah akad nikah dan menjalani hidup bersama, mereka tidak akan dapat mencapai kebahagiaan kecuali dengan saling menghormati dan menunaikan kewajiban masing-masing[29].
4. Perbandingan dengan hadis yang berkaitan
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam sabdanya:
إِنَّمَا النَّسِاءُ شَقَائِق الرِّجَال[30]
Ketika haji Wada', beliau juga mewasiatkan tentang keseimbangan hak dan kewajiban istri, diantaranya:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ[31]

Maka dengan segala hak dan kewajibannya tersebut, seorang wanita tentu saja harus mentaati dan memuliakan suaminya, sampai-sampai Rasulullah mengumpamakan dengan hadis sujud diatas. Ini bukan pelecehan dan sikap kebencian Islam pada wanita, tapi sebagai tuntunan agar wanita menyadari posisinya terhadap sang suami demi tercapainya keharmonisan rumah-tangga.
Di sisi lain, Islam malah menempatkan posisi wanita tiga kali lebih tinggi dari laki-laki, ketika ia berstatus sebagai seorang ibu. Sebagaimana diungkap oleh riwayat berikut:
جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله مَن أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتي؟ قال: "أُمُّك" قال: ثم مَنْ؟ قال: "أمُّك" قال: ثم منْ؟ قال: "أمُّك" قال ثم منْ؟ قال: "ثم أبُوك"[32]
Bahkan syurga berada di bawah telapak kaki wanita yang berstatus ibu, bukan di kaki sang ayah:
أن ‏‏جاهمة ‏جاء إلى النبي‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏فقال: يا رسول الله أردت أن أَغزو وقد جئت أستشيرك، فقال: هل لَكَ مِنْ أُمّ؟ قال: نعم. قال:‏ ‏فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا[33]
Lantas apakah hal tersebut merupakan pelecehan terhadap laki-laki? Tentu saja bukan. Tapi demikianlah Allah dan Rasul-Nya menghendaki agar lelaki dan wanita memainkan peran kehidupan masing-masing dalam pemenuhan hak dan kewajiban, untuk melihat siapa diantara mereka yang terbaik amalannya.
Berdasarkan uraian atas, kita dapat memahami secara komprehensif betapa Islam telah menempatkan posisi laki-laki dan perempuan sesuai fitrah dan peran masing-masing. Tidak ada superioritas salah satu gender atas yang lain. Sujud yang dimaksud hadis di atas hanyalah sekedar perumpamaan akan keagungan posisi suami, bukan dalil penghambaan istri kepadanya. Posisi suami yang ditinggikan beberapa derjat itu pun bukan tanpa konsekweksi, tapi setimpal dengan tanggung-jawab yang dipikulnya terhadap sang istri. Sementara, persamaan yang dimaksud al-Quran bukanlah kesetaraan yang menjadikan semua hak dan kewajiban suami istri selalu sama rata, melainkan keadilan yang sesuai dengan tugas dan peranan masing-masing untuk saling melengkapi dalam mahligai rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar