Rabu, 21 November 2012

Andai Beda Itu Tiada

oleh Nisa' el Fudhla


Penghujung Sya'ban 1415 Hijriyah
                       "Salamu'alaikuuum!
                       "Ibuuu…Kakak pulang. Ibu dimana?". Gadis kecil beseragam biru muda bergegas membuka pintu rumah sederhana bercat kuning gading. Kerudung mungilnya sudah miring kesana kemari. Ia  melepas sepatu kemudian bersiap dengan teriakan selanjutnya.
                      "Wa'alaikumussalam, Anak sholehah! Kak Nadia jangan teriak-teriak, Ibu gak kemana-mana. Tuh kan anak Ibu jadi ngos-ngosan, sini minum dulu", si Ibu tersenyum geli. Anak sulungnya memang unik. Ekspresif dan cepat tanggap.
                       "Ibu tau nggak?! Mata bundarnya melotot, tas berisi mushaf masih bergelayut di tangannya. Segelas air yang disodorkan sang Ibu sedikit pun tak dilirik. Si Ibu menggeleng cepat.
                       "Hari ini puasa pertama, tadi Abah Mahmud yang bilang. Siti dan Rahmat juga udah puasa. Ibu sama Ayah kok nggak bangunin Nadia sahur? Pokoknya Nadia nggak mau Ramadannya bolong". Ngambek.
                       "Hari ini belum puasa, Sayang. Nanti malam kita mau dengar
                       pengumuman dari Menteri Agama. Mungkin besok kita mulai puasa". Hati-hati si Ibu menjelaskan.
                       "Tapi Bu, kenapa Abah Mahmud udah puasa? Abah Mahmud  
                        guru ngaji Nadia yang paling hebat dan keren itu lho Bu". Dahi gadis itu mengerut, masih menunggu serangkaian jawaban dari sang Ibu. Namun dialog ibu dan anak pun bubar oleh tangisan bayi dari kamar depan. Suara tangis Habib, adeknya Nadia. Ah, Nadia jadi pusing. Entar tanya sama Ayah aja, Tapi,  Abah Mahmud gak pernah bohong kok. Duh, gimana nih?!
***
                       Malam pun merangkak. Hawa dingin mulai merayap di pelataran kota Padang Panjang nan permai, Sumatera Barat. Sebuah rumah sederhana di kawasan Minang Village tampak benderang, memancarkan kehangatan jiwa penghuninya. Keluarga Ahmad Hilmi baru bermukim di tempat ini tepatnya dua bulan yang lalu, sejak Pak Ahmad ditugaskan sebagai guru di salah satu madrasah diniyah  di kota ini. Bersama istri dan dua anaknya, Nadia dan Habib.
                     "Yah, kita puasanya harus nungguin pengumuman pemerintah  
                     ya?!", Nadia langsung memberondong sang Ayah dengan pertanyaannya yang belum tuntas. Jemarinya masih memainkan sebilah lidi pembatas mushaf.
                     "Hmm? Sang Ayah masih menatap berita malam di layar televisi.
                     "Ayah…benar ya?", sesaat kemudian tangannya melingkar di pundak sang Ayah.
                     "Iya".
                     "Emang yang tau pemerintah aja ya Yah?", kalau gini si Nadia udah ruwet.  Ibu yang sibuk nyuapin Habib melirik ayah dan anak itu. Kadang ribet juga ngejawab pertanyaan Nadia.
                        "Pemerintah menetapkan setelah para ulama memutuskan", Pak Ahmad menjelaskan dengan sederhana, masalahnya Nadia baru berusia delapan tahun. Belum ngerti kali..
                       "Abah Mahmud ulama bukan Yah?!".
                       "Guru ngaji Nadia ya?!
                       "Hooh".
                       "Mm, bisa juga".
                       "Abah Mahmud tadi udah mulai puasa, Yah".
                       "Eh, Nadia tuh Menteri Agama sebentar lagi mengumunkan awal
                        Ramadhan", Pak Ahmad langsung mengalihkan perhatian putrinya ke layar televisi. Nadia mengikuti mata sang Ayah. Ia lega, kata Pak Menteri besok mulai puasa. Hore, gak bolong. Kalau mulai puasa hari ini Ayah dan Ibu juga bolong. Tapi, Abah Mahmud?! Nadia tanya aja ah…  
***
                      Kerudung biru muda berkibar diterpa angin. Tas berisi mushaf bergelayut di pundaknya. Seperti biasa dengan semangat gadis kecil itu menyusuri trotoar menuju TPA kesayangannya di masjid Az-Zu'amaa. Hari pertama puasa ia justru tambah semangat. Bersiap lebih awal sampai sang Ibu geleng kepala
Masih jam tiga kok Nadia, jangan buru-buru. Nadia hanya nyengir Ah Ibu, belum tau dia, Nadia hari ini kan punya misi khusus.
                     "Anak-anak sekalian, semuanya puasa kan?", wajah teduh milik lelaki limapuluh tahunan yang akrab dengan panggilan "Abah Mahmud" menyapa murid-muridnya.
                    "Puasa donk Bah", serempak anak-anak menjawab.
                    "Bagus, hari ini Abah akan cerita banyak tentang keiistimewaan bulan Ramadhan dan ibadah puasa".
                    "Asyiiiiik", wajah-wajah mungil itu berseri. Nadia yang duduk di barisan terdepan terlihat paling antusias, pandangannya tak lepas dari wajah Abah Mahmud yang ia kagumi. Abah Mahmud pun mulai bercerita. Mulai dari keutamaan Ramadan, adab puasa, keistimewaan orang yang puasa dan sebagainya yang dikemas dengan gaya khas Abah Mahmud. Anak-anak terpesona.  
                    "Ada yang mau bertanya"?,beliau pun menyudahi materinya. Aha, ini dia yang di tunggu Nadia. Telunjuk pun mengacung.
                    "O ya..Nadia, silakan".
                    "Hm, gimana sih Bah mengetahui kalau hari ini tanggal 1 Ramadan?". Teman-temannya bengong, anak yang satu ini memang beda dengan teman-temannya. Abah Mahmud tersenyum, pertanyaan yang harus ia jawab dengan hati-hati. Biasanya Nadia punya pertanyaan lanjutan. Walaupun baru dua bulan belajar di sini, dia malah yang paling menonjol diantara teman-temannya.
                    "Kan udah diumumin Menteri Agama semalam, Nadia nggak liat
                    ya?", Luthfi yang duduk di barisan belakang nyeletuk.
                    "Iya, iya…semalam kita liat lho", yang lain pun sibuk menimpali.
Si Nadia tak begeming, tetap menanti jawaban paling kongkrit dari Abah Mahmud. Dan beliau paham itu  .
                      "Tidak semua orang bisa mengetahui kapan awal dan akhir Ramadan,    ini  diketahui oleh orang-orang yang sudah mendalami ilmu ini, mereka  adalah para ulama ". Nadia manggut-manggut.
        "Oo, jadi kalau ulama  udah tau kapan awalnya, baru kita mulai puasa  Gitu  ya Bah?" Si Abah tersenyum.
                    "Tapi, kenapa Abah, Siti dan Rahmat mulai puasanya kemarin,
                    Menteri Agama telat ya Bah ngasih pengumuman,?", pertanyaan susulan pun bergulir lancar dari bibirnya. Sementara sebagian murid yang lain malah memanfaatkan waktu untuk main ompimpa. Pusing kali dengerin pertanyaannya Nadia                            
       Abah Mahmud menghela nafas sejenak. Keningnya berkerut, belum saatnya ia menjelaskan terlalu detail. Emang tuh Nadia ngerti yang namanya hisab dan rukyat? Dua perangkat dalam penentuan awal bulan Qomariah. Wong usia Nadia masih delapan tahunan. Padahal kemarin ia tidak bermaksud mengumumkan kalau ia sudah mulai puasa. Waktu Nadia ngotot nawarin Abah tahu goreng buatan Ibunya, ternyata Siti dan Rahmat, cucunya Abah Mahmud yang seumuran Nadia malah bikin sensasi. Ih, Nadia ga puasa? Kita udah puasa lho... Harusnya anak seumuran Nadia belum layak dikenalin dengan masalah ini, Abah Mahmud membatin.
Nadia masih  setia menanti jawaban sang Abah.
          "Nanti kalau Nadia sudah besar, ilmunya sudah banyak, Nadia bisa  
menjawab pertanyaan ini. Tapi sekarang Nadia harus khatam Al Qur'an dulu, belajar agama, supaya jadi anak sholeh dan berilmu. Jangan lupa berpuasalah dengan  ikhlas agar kita disayang Allah".
          Bibir Nadia mengerucut, mata bundarnya menatap langit-langit. Berarti Nadia harus nunggu besar dulu terus Nadia jawab sendiri pertanyaan tadi. Kok Abah dan Ayah sama aja sih? Ya, satu pertanyaan lagi…
         "Anak-anak sekalian, sekarang buka Surat Al Baqarah ayat 183. kita  
 baca bersama, kemudian kalian hafalkan. Siapa yang maju duluan ada  hadiah dari Abah". Abah Mahmud mengalihkan topik sebelum pertanyaan berikutnya mendarat.
          Nadia terkulai. Perlahan ia katupkan bibirnya yang dari tadi udah pasang kuda-kuda. Kalau sudah begini Abah Mahmud nggak bisa diganggu. Nadia menekuni mushafnya. Sesaat kemudian lirih lantunan ayat suci mengalir dari lisan-lisan tak ternoda. Membahana ke tepi langit kota Padang Panjang.  Setengah jam kemudian, pasukan berseragam biru muda itu pun berhamburan keluar kelas. Sebelumnya mereka berebutan menyalami Abah Mahmud, guru kebanggaan. Jam belajar telah usai. Nadia tersenyum puas sambil menggenggam sebuah pulpen dan sebatang cokelat, hafalan yang ditugaskan Abah ia tuntaskan dengan baik.
         Lembayung senja berarak anggun menggiring mentari menuju peraduan. Bola raksasa itu beringsut perlahan, pertanda sang malam kan hadir di hamparan semesta. Selanjutnya rembulan dan jutaan bintang akan menyunting bumi nan gulita. Sebuah Maha Karya yang tiada pernah tertandingi. Tak hanya itu, semua patuh pada titahNya, Penguasa Tunggal jagad raya. Azan maghrib pun bergema. Syahdu dan menggetarkan jiwa hambaNya yang menanti saat-saat bahagia, ketika waktu berbuka tiba .  
         "Nadia, jangan makan berlebihan. Nanti tarawihnya malah ngantuk", Pak Ahmad menegur Nadia yang masih asyik dengan Es Kopyor buatan ibu. Ini sudah hitungan ketiga Nadia nambah. Maklum, buka puasa hari pertama.
        "Iya Yah, ini yang terakhir, tapi ntar abis taraweh Nadia mau lagi Yah",  Pak Ahmad tersenyum geli dengan jawaban putrinya.
***
                    Hari demi hari terus bergulir. Sebentar lagi Sayyid as syuhur  pun menggenapkan hitungannya. Kaum muslimin mulai sibuk dengan tradisi yang sudah mengakar, apalagi kalau bukan persiapan menyambut hari Raya. Pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak, tak peduli harga barang yang melonjak drastis. Seolah hari Raya tak bermakna tanpa penampilan baru dan serba "wah".
        Nadia sibuk mematut baju merah muda bermotif manik dan renda  terpajang indah di lemarinya. Hadiah dari Ibu untuk puasanya yang tak pernah bolong. Hari ini sudah hitungan  ke dua puluh delapan,  Nadia telah melewati dengan sempurna.
        "Nadia, tolong jagain adek sebentar, Nak! Ibu mau ke warung", terdengar panggilan Ibu dari ruang tengah. Buru-buru ditutupnya lemari pakaian, gadis manis itu tersenyum puas".
        "Oke deh, Bu". Dalam hitungan detik ia sudah berada di sisi Habib, adiknya semata wayang. Bayi montok itu pun tertawa riang ketika Nadia menirukan suara-suara binatang. Aukkhmm…Meong…Kukuruuyuk. Emang bonbin?
        "Dek, kita nonton yuk, biar adek nggak bosan trus sambil minun susu", Nadia meraih remote kontrol. Klik, dan  televisi berukuran 17  inci pun menyala. Liputan 6 Petang. Program berita kesayangan Ayah, Nadia liat bentar ah..
"Fenomena perbedaan puasa dan hari Raya Idul Fitri di tanah air kembali terjadi. Ini ditandai dengan pengumuman dari salah seorang ketua ormas Ialam terbesar di negeri ini bahwa 1 Syawal jatuh pada esok hari. Sementara itu, Menteri Agama disela-sela safari Ramadannya ke Surabaya memperkirakan 1 Syawal jatuh esok lusa, namun hingga saat ini Tim Hisab dan Rukyah MUI  belum mengumumkan secara resmi. Perbedaan ini telah terbukti  beberapa daerah di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang akan merayakan Idul Fitri besok, berikut laporan dari rekan saya Ira Kusno dari  Yogyakarta …  "
        Nadia menatap layar televisi tak bekedip. Tangan kirinya menggenggam remot kontrol dan di tangan kanan botol susu Habib yang masih penuh. Si Habib yang sibuk berceloteh ria malah dicuekin Nadia. Saraf-saraf motorik bekerja cepat, sibuk mere-call apa yang baru saja ia simak. Kok jadinya Hari Raya juga beda? Tuh kan, ada juga yang bikin pengumuman selain pemerintah. Terus gimana tuh, sholat Iednya ga bareng dong?!
         "Nadia, kok adeknya dicuekin, Nak. Tuh botol susunya malah Nadia     yang pegang, kasih adek tuh", Nadia masih menengadah, dahinya mengerut, bibir mengerucut. Ia terperanjat saat Ibu mengambil botol susu dari genggamannya. Kasian tuh Habib. Ibunya heran, kok Nadia jadi serius gitu nonton berita.
                     "Nak, nanti Ibu mau bikin kue nastar lho, Nadia mau bantuin  kan?", Ibunya Nadia memang nggak pernah lupa dengan kue favorit Nadia, juga Ayahnya Nadia. Gadis kecil itu mengangguk, kemudian bersandar dipangkuan Ibu.
        "Bu, kita lebaran nunggu pengumuman lagi kan?".
        "Iya. Insya Allah sehari atau dua hari lagi. Ibu bangga, puasa Nadia ga ada yang bolong", penuh cinta dibelainya rambut sebahu milik putrinya.
         "Di berita yang tadi katanya ada perbedaan 1 Syawal, Bu. Udah ada          yang  bikin pengumuman juga kalau besok lebaran, katanya or-mas    bukan    Menteri Agama. Siapa sih Bu?".  Ibunya tersenyum. Dari kecil Nadia memang begitu, selalu ingin tahu dan cepat tanggap. Tapi kadang- kadang susah juga menjelaskan untuk anak seusia Nadia.
         "Ormas itu singkatan dari Organisasi Masyarakat. Mm, satu perkumpulan. Ada ketuanya, juga anggota". Nadia manggut-manggut.
         "Terus Bu?". Ia memperbaiki duduknya.
         "Jadi di organisasi itu ada ustadznya juga, yang tau gimana caranya nentuin kapan awal bulan, kapan Ramadan dan Syawal". Ibunya diam sejenak, khawatir  Nadia belum nyambung.
                      "B erarti cara ustadz di ormas itu  ga sama kaya' menteri agama ya Bu?  Kalau caranya sama pasti pengumumannya juga sama. Iya kan Bu?". Analisa yang cukup tajam.
        "Tapi, kan ga enak Bu, kalau lebarannya beda-beda. Yang satu masih    puasa, trus yang lain udah makan-makan. Entar kalau Nadia udah  besar,  Nadia pengen belajar juga ah…trus Nadia ajakin orang-orang biar  lebarannya bareng-bareng. O iya Bu, Nadia lupa. Abah Mahmud  berarti  sama kaya' ustadz yang di ormas itu?! Kapan lagi ya Nadia ketemu Abah, sekarang TPA udah libur", berapi-api Nadia menyampaikan pendapatnya. Lantang, sambil mondar mandir kaya' guru di kelas. Sampai-sampai si Habib yang asyik dengan botol susunya malah tak berkedip menatap kakaknya. Andai Habib bisa ngomong ..kakakku kenapa ya?! .
         "Masya Allah, Nadia sama Ibu asyik sekali. Sampe gak denger salam 
         Ayah", Pak Ahmad tersenyum ke arah istrinya.
         "Eh, Ayah udah pulang. Nadia lagi diskusi sama Ibu".
         "Tambah pinter aja anak Ayah udah bisa diskusi sekarang", Ibu pun berseru sambil mengemasi tas kerja Pak Ahmad.
         "Siapa dulu donk ayahnya. Tuh Ayah beli Batagor buat anak ayah yang paling hebat", Pak Ahmad mengacak rambut Nadia. Gadis kecil itu pun terkekeh.
***
         "Nadia, kita udah lebaran.. Kacian deh lu masih puasa", Siti dan Rahmat mengagetkan Nadia sepulang belanja dari warung Mak Upik. Disuruh Ibu beli kepala parut.
         "Kalian berdua udah nggak puasa?". Nadia menghentikan langkahnya.
       "Iya lah, kita udah berhari raya. Abah juga, Abah bilang kalau udah 1 Syawal gak boleh puasa. Dosa", Siti memainkan pita di rambutnya.
        "Masa' sih?! Kan belum ada pengumuman".
        "Udah kok,  tadi kita udah sholat Ied di lapangan. O iya, Maaf lahir batin      ya Nadia, kita mau ke rumah Abah", Siti dan Rahmat  pun berlalu. Nadia masih mematung. Bingung. Abah bilang kalau udah 1 Syawal gak boleh puasa, dosa. Kalimat  Siti terngiang semakin nyaring di telinganya. Ya Allah, Nadia gak mau berdosa, terus masuk neraka. Nadia terkejut ketika suara murattal mengalun lewat pengeras suara di mesjid Raya. Pertanda azan akan berkumanang, ia pun mempercepat langkahnya. Satu kresek kelapa ditangannya parut menari di terpa angin. Ibu pasti sudah nungguin dari tadi. Nadia pun berlari, nafasnya tersengal.
        "Ayah, Ibu.. Siti dan Rahmat udah lebaran. Kita nggak dosa kan Yah?! Nadia takut masuk neraka", teriakan Nadia terdengar nyaring, ia masih di halaman depan.
                    " Nadia, Nak.. Udah mau maghrib. Bangun! Bentar lagi buka puasa", kecupan lembut Ibu mendarat di keningnya. Nadia membuka matanya perlahan, menatap sekeliling. Nggak ada Siti dan Rahmat juga sekresek kelapa parut. Olala, Nadia sampe kebawa mimpi.
                     Pesona langit senja menemani saat-saat bahagia hamba Allah, saat lapar dan dahaga berganti bahagia tak terungkap kata, namun bersemi di relung jiwa. Itulah salah satu kebahagiaan yang dijanjikanNya untuk hamba yang tiada henti mengais rahmat dan ampunanNya di dunia. Tak hanya itu, suatu hari nanti ada kebahagiaan tiada tara di negeri keabadian. Bahagia saat menatap wajah Sang Maha Mulia, bahagia saat Baab Ar Rayyan terbuka lebar untuk mereka.
***
Tujuh tahun kemudian, 1423 Hijriyah.
                       " Rasulullah saw. Bersabda ;
 Shumuu li ru'yatihi wa afthiruu li ru'yatihifa in ghubiya 'alaikum fa akmiluu 'iddata asy sya'baan tsalatsiin…Perhatikan dengan cermat, hadits ini mengisyaratkan bahwa ada dua perangkat dalam menentukan awal bulan Ramadan. Pertama; Imkan ar Ru'yah, melihat hilal. Kedua; Jika tidak memungkinkan untuk melihat hilal, karena tertutup awan misalnya,berdasarkan hadits ini maka bulan Sya'ban digenapkan hitungannya menjadi tiga puluh hari. Ini dinamakan dengan metode hisab. Sampai disini aa pertanyaan?", dengan lugas pria empat puluh tahunan itu menerangkan materi yang sudah dikuasainya.  Sementara tiga puluh pasang mata menyimak dengan seksama. Siapa yang tak kenal Ustadz Ja'far, seorang guru senior di sekolah ini. Sebuah madrasah aliyah keagamaan yang berdiri tegak diantara gunung Merapi dan Singgalang.
                   "Ustadz, hadits ini sudah sangat jelas. Tapi kenapa fenomena perbedaan  awal Ramadan dan Syawal sepertinya sudah menjai tradisi tahunan di tengah masyarakat. Apa ada sesuatu yang janggal dan harus diluruskan Ustadz?", seorang siswi yang duduk di barisan kedua mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan. Ia terlihat paling semangat sejak materi ini diawali. Siapa lagi kalau bukan Nadia, ia telah tumbuh menjadi remaja cerdas, santun dan enerjik. Sudah 8 bulan duduk di kelas I MAKN Putri. Udah nggak suka teriak-teriak lagi kok..
                     "Ya, dari tahun ke tahun permasalahan memang ini semakin tak berujung".Ustadz Ja'far terdiam sejenak.
                     "Cari sensasi kali, Ustadz", celetuk siswi yang duduk tepat di samping Nadia disusul suara tawa dari teman-temannya. Ustadz Ja'far tersenyum simpul,       
                     "Banyak faktor yang melatar belakangi perbedaan ini. Yang paling mendasar adalah ikhtilaf ulama dalam metode tadi. Yang memakai rukyat meyakini bahwa ini adalah metode yang paling tepat, sementara yang menggunakan metode hisab juga demikian. Insya Allah pertemuan selanjutnya pembahasan ini kita lanjutkan, tapi sebelumnya Ustadz ingin kalian benar-benar memahami materi ini. Jadi, tolong ketua kelas dibagi teman-temannya menjadi lima kelompok dan masing-masing kelompok menulis satu makalah dengan tema perbedaan awal bulan Qomariah, saya beri waktu dua minggu". Ustadz Ja'far menyudahi paparannya. Sesuai perintah, Fithri sang Ketua Kelas pun menjalankan tugas. Pembagian kelompok pun dimulai beberapa saat sebelum jam istirahat.
***
  Asrama Putri Salsabila, menjelang Isya
                   "Nadia, tau nggak?"
                   "Nggak.."
                   "Ih, syebel deh. Itu namanya membunuh ekspresi orang".
                   "Hehehe.. Ada tuan putri Naila Hayati Harum Mewangi? Hamba akan dengarkan".
                   "Lebaran kemarin paman dan  kakek bertengkar gara-gara pamanku Idul Fitrinya duluan. Eh, kakekku marah-marah karena ketauan paman aktif di ormas yang dari dulu, sejak zaman penjajah, kakek nggak suka. Katanya itu ormas sok moderat. Eh pamanku otomatis  nggak terima dan malah menuding kakek sok klasik dan tradisional", Nadia menyimak cerita Naila, teman sebangku juga sekamarnya. Serem juga tuh, lebaran malah berantem. Ayah dan anak lagi.
                  "Kalau kampungku malah mutusin hubungan sama kampung tetangga, ya lagi-lagi karena beda paham. Sampe dilarang nikah sama anak kampung sebelah", Ina yang sedang menekuni Fiqhus Sunnah pun urun suara.
                 "Gawat donk, Na. Siapa tau pangerannya  Ina  dari kampung tetangga", Naila malah menggoda. Ina mencibir sambil melempar bantal.
                 "Berarti permasalahan ini bisa merambat kemana-kemana, bahkan memicu perpecahan umat", Nadia menyimpulkan.  Teman-temannya mengangguk setuju. Diam-diam Nadia menemukan inspirasi untuk judul makalahnya. Semoga suatu hari nanti ada jalan tengah permasalahan ini. Betapa indahnya. Andai beda itu tak pernah ada.
                                                              Bu'uts Permai,  Diambang Petang
                                                                                 *Minisiswi Al Azhar, Tingkat IV.  Jur Hadith wa 'Ulumuhu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar