Penghujung Sya'ban 1415 Hijriyah
"Salamu'alaikuuum!
"Ibuuu…Kakak
pulang. Ibu dimana?". Gadis kecil beseragam biru muda bergegas membuka
pintu rumah sederhana bercat kuning gading. Kerudung mungilnya sudah miring
kesana kemari. Ia melepas sepatu
kemudian bersiap dengan teriakan selanjutnya.
"Wa'alaikumussalam,
Anak sholehah! Kak Nadia jangan teriak-teriak, Ibu gak kemana-mana. Tuh kan anak Ibu jadi
ngos-ngosan, sini minum dulu", si Ibu tersenyum geli. Anak sulungnya
memang unik. Ekspresif dan cepat tanggap.
"Ibu tau nggak?!
Mata bundarnya melotot, tas berisi mushaf masih bergelayut di tangannya. Segelas
air yang disodorkan sang Ibu sedikit pun tak dilirik. Si Ibu menggeleng cepat.
"Hari ini puasa
pertama, tadi Abah Mahmud yang bilang. Siti dan Rahmat juga udah puasa. Ibu
sama Ayah kok nggak bangunin Nadia sahur? Pokoknya Nadia nggak mau Ramadannya
bolong". Ngambek.
"Hari ini belum
puasa, Sayang. Nanti malam kita mau dengar
pengumuman dari Menteri
Agama. Mungkin besok kita mulai puasa". Hati-hati si Ibu menjelaskan.
"Tapi Bu, kenapa
Abah Mahmud udah puasa? Abah Mahmud
guru ngaji Nadia yang
paling hebat dan keren itu lho Bu". Dahi gadis itu mengerut, masih
menunggu serangkaian jawaban dari sang Ibu. Namun dialog ibu dan anak pun bubar
oleh tangisan bayi dari kamar depan. Suara tangis Habib, adeknya Nadia. Ah,
Nadia jadi pusing. Entar tanya sama Ayah aja, Tapi, Abah Mahmud gak pernah bohong kok. Duh,
gimana nih?!
***
Malam pun merangkak. Hawa dingin mulai
merayap di pelataran kota
Padang Panjang nan permai, Sumatera Barat. Sebuah rumah sederhana di kawasan Minang Village
tampak benderang, memancarkan kehangatan jiwa penghuninya. Keluarga Ahmad Hilmi
baru bermukim di tempat ini tepatnya dua bulan yang lalu, sejak Pak Ahmad
ditugaskan sebagai guru di salah satu madrasah diniyah di kota
ini. Bersama istri dan dua anaknya, Nadia dan Habib.
"Yah,
kita puasanya harus nungguin pengumuman pemerintah
ya?!",
Nadia langsung memberondong sang Ayah dengan pertanyaannya yang belum tuntas.
Jemarinya masih memainkan sebilah lidi pembatas mushaf.
"Hmm?
Sang Ayah masih menatap berita malam di layar televisi.
"Ayah…benar ya?", sesaat kemudian
tangannya melingkar di pundak sang Ayah.
"Iya".
"Emang
yang tau pemerintah aja ya Yah?", kalau gini si Nadia udah ruwet. Ibu yang sibuk nyuapin Habib melirik ayah dan
anak itu. Kadang ribet juga ngejawab pertanyaan Nadia.
"Pemerintah
menetapkan setelah para ulama memutuskan", Pak Ahmad menjelaskan dengan
sederhana, masalahnya Nadia baru berusia delapan tahun. Belum ngerti kali..
"Abah
Mahmud ulama bukan Yah?!".
"Guru
ngaji Nadia ya?!
"Hooh".
"Mm, bisa juga".
"Abah Mahmud tadi udah mulai puasa,
Yah".
"Eh, Nadia tuh Menteri Agama sebentar
lagi mengumunkan awal
Ramadhan", Pak Ahmad langsung
mengalihkan perhatian putrinya ke layar televisi. Nadia mengikuti mata sang
Ayah. Ia lega, kata Pak Menteri besok mulai puasa. Hore, gak bolong. Kalau
mulai puasa hari ini Ayah dan Ibu juga bolong. Tapi, Abah Mahmud?! Nadia tanya
aja ah…
***
Kerudung biru muda berkibar diterpa
angin. Tas berisi mushaf bergelayut di pundaknya. Seperti biasa dengan semangat
gadis kecil itu menyusuri trotoar menuju TPA kesayangannya di masjid Az-Zu'amaa.
Hari pertama puasa ia justru tambah semangat. Bersiap lebih awal sampai sang
Ibu geleng kepala
Masih jam tiga kok Nadia, jangan
buru-buru. Nadia hanya nyengir Ah Ibu, belum tau
dia, Nadia hari ini kan
punya misi khusus.
"Anak-anak sekalian, semuanya puasa kan?", wajah teduh
milik lelaki limapuluh tahunan yang akrab dengan panggilan "Abah
Mahmud" menyapa murid-muridnya.
"Puasa donk Bah", serempak
anak-anak menjawab.
"Bagus, hari ini Abah akan cerita banyak
tentang keiistimewaan bulan Ramadhan dan ibadah puasa".
"Asyiiiiik", wajah-wajah mungil itu
berseri. Nadia yang duduk di barisan terdepan terlihat paling antusias,
pandangannya tak lepas dari wajah Abah Mahmud yang ia kagumi. Abah Mahmud pun
mulai bercerita. Mulai dari keutamaan Ramadan, adab puasa, keistimewaan orang
yang puasa dan sebagainya yang dikemas dengan gaya khas Abah Mahmud. Anak-anak terpesona.
"Ada yang mau bertanya"?,beliau
pun menyudahi materinya. Aha, ini dia yang di tunggu Nadia. Telunjuk pun
mengacung.
"O
ya..Nadia, silakan".
"Hm,
gimana sih Bah mengetahui kalau hari ini tanggal 1 Ramadan?".
Teman-temannya bengong, anak yang satu ini memang beda dengan teman-temannya.
Abah Mahmud tersenyum, pertanyaan yang harus ia jawab dengan hati-hati.
Biasanya Nadia punya pertanyaan lanjutan. Walaupun baru dua bulan belajar di
sini, dia malah yang paling menonjol diantara teman-temannya.
"Kan udah diumumin
Menteri Agama semalam, Nadia nggak liat
ya?",
Luthfi yang duduk di barisan belakang nyeletuk.
"Iya, iya…semalam kita liat lho",
yang lain pun sibuk menimpali.
Si Nadia tak begeming, tetap menanti
jawaban paling kongkrit dari Abah Mahmud. Dan beliau paham itu .
"Tidak
semua orang bisa mengetahui kapan awal dan akhir Ramadan, ini diketahui
oleh orang-orang yang sudah mendalami ilmu ini, mereka adalah para ulama ". Nadia
manggut-manggut.
"Oo,
jadi kalau ulama udah tau kapan awalnya,
baru kita mulai puasa Gitu ya Bah?" Si Abah tersenyum.
"Tapi, kenapa Abah, Siti dan Rahmat mulai
puasanya kemarin,
Menteri
Agama telat ya Bah ngasih pengumuman,?", pertanyaan susulan pun bergulir lancar
dari bibirnya. Sementara sebagian murid yang lain malah memanfaatkan waktu
untuk main ompimpa. Pusing kali dengerin pertanyaannya Nadia…
Abah Mahmud menghela nafas sejenak. Keningnya
berkerut, belum saatnya ia menjelaskan terlalu detail. Emang tuh Nadia ngerti
yang namanya hisab dan rukyat? Dua perangkat dalam penentuan awal bulan Qomariah.
Wong usia Nadia masih delapan tahunan. Padahal kemarin ia tidak bermaksud
mengumumkan kalau ia sudah mulai puasa. Waktu Nadia ngotot nawarin Abah tahu
goreng buatan Ibunya, ternyata Siti dan Rahmat, cucunya Abah Mahmud yang
seumuran Nadia malah bikin sensasi. Ih, Nadia ga puasa? Kita udah puasa
lho... Harusnya anak seumuran Nadia belum layak dikenalin dengan
masalah ini, Abah Mahmud membatin.
Nadia masih setia menanti jawaban sang Abah.
"Nanti kalau Nadia sudah besar,
ilmunya sudah banyak, Nadia bisa
menjawab pertanyaan ini. Tapi sekarang
Nadia harus khatam Al Qur'an dulu, belajar agama, supaya jadi anak sholeh dan
berilmu. Jangan lupa berpuasalah dengan ikhlas
agar kita disayang Allah".
Bibir Nadia mengerucut, mata bundarnya menatap
langit-langit. Berarti Nadia harus nunggu besar dulu terus Nadia jawab
sendiri pertanyaan tadi. Kok Abah dan Ayah sama aja sih? Ya, satu
pertanyaan lagi…
"Anak-anak
sekalian, sekarang buka Surat Al Baqarah ayat 183. kita
baca
bersama, kemudian kalian hafalkan. Siapa yang maju duluan ada hadiah dari Abah". Abah Mahmud
mengalihkan topik sebelum pertanyaan berikutnya mendarat.
Nadia terkulai. Perlahan ia katupkan
bibirnya yang dari tadi udah pasang kuda-kuda. Kalau sudah begini Abah Mahmud
nggak bisa diganggu. Nadia menekuni mushafnya. Sesaat kemudian lirih lantunan
ayat suci mengalir dari lisan-lisan tak ternoda. Membahana ke tepi langit kota Padang Panjang. Setengah jam kemudian, pasukan berseragam biru
muda itu pun berhamburan keluar kelas. Sebelumnya mereka berebutan menyalami
Abah Mahmud, guru kebanggaan. Jam belajar telah usai. Nadia tersenyum puas
sambil menggenggam sebuah pulpen dan sebatang cokelat, hafalan yang ditugaskan
Abah ia tuntaskan dengan baik.
Lembayung senja berarak anggun
menggiring mentari menuju peraduan. Bola raksasa itu beringsut perlahan,
pertanda sang malam kan
hadir di hamparan semesta. Selanjutnya rembulan dan jutaan bintang akan
menyunting bumi nan gulita. Sebuah Maha Karya yang tiada pernah tertandingi.
Tak hanya itu, semua patuh pada titahNya, Penguasa Tunggal jagad raya. Azan
maghrib pun bergema. Syahdu dan menggetarkan jiwa hambaNya yang menanti
saat-saat bahagia, ketika waktu berbuka tiba .
"Nadia, jangan makan berlebihan.
Nanti tarawihnya malah ngantuk", Pak Ahmad menegur Nadia yang masih asyik
dengan Es Kopyor buatan ibu. Ini sudah hitungan ketiga Nadia nambah. Maklum,
buka puasa hari pertama.
"Iya Yah, ini yang terakhir, tapi ntar
abis taraweh Nadia mau lagi Yah",
Pak Ahmad tersenyum geli dengan jawaban putrinya.
***
Hari demi hari terus
bergulir. Sebentar lagi Sayyid as syuhur pun menggenapkan hitungannya. Kaum muslimin
mulai sibuk dengan tradisi yang sudah mengakar, apalagi kalau bukan persiapan
menyambut hari Raya. Pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak, tak peduli harga
barang yang melonjak drastis. Seolah hari Raya tak bermakna tanpa penampilan
baru dan serba "wah".
Nadia sibuk mematut baju merah muda
bermotif manik dan renda terpajang indah
di lemarinya. Hadiah dari Ibu untuk puasanya yang tak pernah bolong. Hari ini
sudah hitungan ke dua puluh
delapan, Nadia telah melewati dengan
sempurna.
"Nadia, tolong jagain adek
sebentar, Nak! Ibu mau ke warung", terdengar panggilan Ibu dari ruang
tengah. Buru-buru ditutupnya lemari pakaian, gadis manis itu tersenyum
puas".
"Oke deh, Bu". Dalam hitungan detik ia sudah berada di sisi
Habib, adiknya semata wayang. Bayi montok itu pun tertawa riang ketika Nadia
menirukan suara-suara binatang. Aukkhmm…Meong…Kukuruuyuk. Emang bonbin?
"Dek, kita nonton yuk, biar adek nggak
bosan trus sambil minun susu", Nadia meraih remote kontrol. Klik, dan televisi berukuran 17 inci pun menyala. Liputan 6 Petang. Program
berita kesayangan Ayah, Nadia liat bentar ah..
"Fenomena perbedaan
puasa dan hari Raya Idul Fitri di tanah air kembali terjadi. Ini ditandai
dengan pengumuman dari salah seorang ketua ormas Ialam terbesar di negeri ini
bahwa 1 Syawal jatuh pada esok hari. Sementara itu, Menteri Agama disela-sela
safari Ramadannya ke Surabaya
memperkirakan 1 Syawal jatuh esok lusa, namun hingga saat ini Tim Hisab dan
Rukyah MUI belum mengumumkan secara
resmi. Perbedaan ini telah terbukti
beberapa daerah di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang akan
merayakan Idul Fitri besok, berikut laporan dari rekan saya Ira Kusno dari Yogyakarta …
"
Nadia menatap layar televisi tak
bekedip. Tangan kirinya menggenggam remot kontrol dan di tangan kanan botol
susu Habib yang masih penuh. Si Habib yang sibuk berceloteh ria malah dicuekin
Nadia. Saraf-saraf motorik bekerja cepat, sibuk mere-call apa yang baru
saja ia simak. Kok jadinya Hari Raya juga beda? Tuh kan, ada juga yang bikin
pengumuman selain pemerintah. Terus gimana tuh, sholat Iednya ga bareng dong?!
"Nadia, kok adeknya dicuekin,
Nak. Tuh botol susunya malah Nadia yang pegang, kasih adek tuh", Nadia
masih menengadah, dahinya mengerut, bibir mengerucut. Ia terperanjat saat Ibu
mengambil botol susu dari genggamannya. Kasian tuh Habib. Ibunya heran,
kok Nadia jadi serius gitu nonton berita.
"Nak, nanti Ibu mau
bikin kue nastar lho, Nadia mau bantuin kan?", Ibunya Nadia
memang nggak pernah lupa dengan kue favorit Nadia, juga Ayahnya Nadia. Gadis
kecil itu mengangguk, kemudian bersandar dipangkuan Ibu.
"Bu, kita lebaran nunggu
pengumuman lagi kan?".
"Iya.
Insya Allah sehari atau dua hari lagi. Ibu bangga, puasa Nadia ga ada yang
bolong", penuh cinta dibelainya rambut sebahu milik putrinya.
"Di berita yang tadi katanya ada
perbedaan 1 Syawal, Bu. Udah ada yang
bikin pengumuman juga kalau besok lebaran, katanya or-mas bukan Menteri Agama. Siapa sih Bu?". Ibunya tersenyum. Dari kecil Nadia memang begitu,
selalu ingin tahu dan cepat tanggap. Tapi kadang- kadang susah juga menjelaskan
untuk anak seusia Nadia.
"Ormas
itu singkatan dari Organisasi Masyarakat. Mm, satu perkumpulan. Ada ketuanya, juga
anggota". Nadia manggut-manggut.
"Terus Bu?". Ia memperbaiki
duduknya.
"Jadi di organisasi itu ada
ustadznya juga, yang tau gimana caranya nentuin kapan awal bulan, kapan Ramadan
dan Syawal". Ibunya diam sejenak, khawatir Nadia belum nyambung.
"B erarti cara ustadz di ormas itu ga sama kaya' menteri agama ya Bu? Kalau caranya sama pasti pengumumannya juga
sama. Iya kan
Bu?". Analisa yang cukup tajam.
"Tapi, kan ga enak Bu, kalau lebarannya beda-beda.
Yang satu masih puasa,
trus yang lain udah makan-makan. Entar kalau Nadia udah besar, Nadia pengen belajar juga ah…trus Nadia ajakin
orang-orang biar lebarannya bareng-bareng.
O iya Bu, Nadia lupa. Abah Mahmud berarti sama kaya' ustadz yang di ormas itu?! Kapan
lagi ya Nadia ketemu Abah, sekarang TPA udah libur", berapi-api Nadia menyampaikan
pendapatnya. Lantang, sambil mondar mandir kaya' guru di kelas. Sampai-sampai
si Habib yang asyik dengan botol susunya malah tak berkedip menatap kakaknya.
Andai Habib bisa ngomong ..kakakku kenapa ya?! .
"Masya
Allah, Nadia sama Ibu asyik sekali. Sampe gak denger salam
Ayah", Pak Ahmad tersenyum ke arah istrinya.
"Eh,
Ayah udah pulang. Nadia lagi diskusi sama Ibu".
"Tambah pinter aja anak Ayah udah bisa
diskusi sekarang", Ibu pun berseru sambil mengemasi tas kerja Pak Ahmad.
"Siapa dulu donk ayahnya. Tuh Ayah beli
Batagor buat anak ayah yang paling hebat", Pak Ahmad mengacak rambut
Nadia. Gadis kecil itu pun terkekeh.
***
"Nadia,
kita udah lebaran.. Kacian deh lu masih puasa", Siti dan Rahmat mengagetkan
Nadia sepulang belanja dari warung Mak Upik. Disuruh Ibu beli kepala parut.
"Kalian berdua udah nggak puasa?".
Nadia menghentikan langkahnya.
"Iya lah, kita udah berhari raya. Abah
juga, Abah bilang kalau udah 1 Syawal gak boleh puasa. Dosa", Siti
memainkan pita di rambutnya.
"Masa' sih?! Kan belum ada pengumuman".
"Udah
kok, tadi kita udah sholat Ied di
lapangan. O iya, Maaf lahir batin ya
Nadia, kita mau ke rumah Abah", Siti dan Rahmat pun berlalu. Nadia masih mematung. Bingung. Abah
bilang kalau udah 1 Syawal gak boleh puasa, dosa. Kalimat Siti terngiang semakin nyaring di telinganya. Ya
Allah, Nadia gak mau berdosa, terus masuk neraka. Nadia terkejut ketika
suara murattal mengalun lewat pengeras suara di mesjid Raya. Pertanda
azan akan berkumanang, ia pun mempercepat langkahnya. Satu kresek kelapa
ditangannya parut menari di terpa angin. Ibu pasti sudah nungguin dari tadi.
Nadia pun berlari, nafasnya tersengal.
"Ayah, Ibu.. Siti dan Rahmat udah
lebaran. Kita nggak dosa kan
Yah?! Nadia takut masuk neraka", teriakan Nadia terdengar nyaring, ia
masih di halaman depan.
" Nadia, Nak.. Udah mau maghrib. Bangun!
Bentar lagi buka puasa", kecupan lembut Ibu mendarat di keningnya. Nadia
membuka matanya perlahan, menatap sekeliling. Nggak ada Siti dan Rahmat juga
sekresek kelapa parut. Olala, Nadia sampe kebawa mimpi.
Pesona langit senja menemani saat-saat bahagia
hamba Allah, saat lapar dan dahaga berganti bahagia tak terungkap kata, namun
bersemi di relung jiwa. Itulah salah satu kebahagiaan yang dijanjikanNya untuk
hamba yang tiada henti mengais rahmat dan ampunanNya di dunia. Tak hanya itu, suatu
hari nanti ada kebahagiaan tiada tara di
negeri keabadian. Bahagia saat menatap wajah Sang Maha Mulia, bahagia saat Baab
Ar Rayyan terbuka lebar untuk mereka.
***
Tujuh tahun kemudian, 1423 Hijriyah.
" Rasulullah
saw. Bersabda ;
Shumuu
li ru'yatihi wa afthiruu li ru'yatihifa in ghubiya 'alaikum fa akmiluu 'iddata
asy sya'baan tsalatsiin…Perhatikan dengan cermat, hadits ini mengisyaratkan
bahwa ada dua perangkat dalam menentukan awal bulan Ramadan. Pertama; Imkan
ar Ru'yah, melihat hilal. Kedua; Jika tidak memungkinkan untuk melihat hilal,
karena tertutup awan misalnya,berdasarkan hadits ini maka bulan Sya'ban
digenapkan hitungannya menjadi tiga puluh hari. Ini dinamakan dengan metode hisab.
Sampai disini aa pertanyaan?", dengan lugas pria empat puluh tahunan itu
menerangkan materi yang sudah dikuasainya. Sementara tiga puluh pasang mata menyimak
dengan seksama. Siapa yang tak kenal Ustadz Ja'far, seorang guru senior di
sekolah ini. Sebuah madrasah aliyah keagamaan yang berdiri tegak diantara
gunung Merapi dan Singgalang.
"Ustadz, hadits ini
sudah sangat jelas. Tapi kenapa fenomena perbedaan awal Ramadan dan Syawal sepertinya sudah
menjai tradisi tahunan di tengah masyarakat. Apa ada sesuatu yang janggal dan
harus diluruskan Ustadz?", seorang siswi yang duduk di barisan kedua
mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan. Ia terlihat paling semangat
sejak materi ini diawali. Siapa lagi kalau bukan Nadia, ia telah tumbuh menjadi
remaja cerdas, santun dan enerjik. Sudah 8 bulan duduk di kelas I MAKN Putri. Udah
nggak suka teriak-teriak lagi kok..
"Ya, dari tahun ke
tahun permasalahan memang ini semakin tak berujung".Ustadz Ja'far terdiam
sejenak.
"Cari sensasi kali,
Ustadz", celetuk siswi yang duduk tepat di samping Nadia disusul suara
tawa dari teman-temannya. Ustadz Ja'far tersenyum simpul,
"Banyak faktor yang melatar belakangi
perbedaan ini. Yang paling mendasar adalah ikhtilaf ulama dalam metode
tadi. Yang memakai rukyat meyakini bahwa ini adalah metode yang paling tepat,
sementara yang menggunakan metode hisab juga demikian. Insya Allah pertemuan
selanjutnya pembahasan ini kita lanjutkan, tapi sebelumnya Ustadz ingin kalian
benar-benar memahami materi ini. Jadi, tolong ketua kelas dibagi teman-temannya
menjadi lima
kelompok dan masing-masing kelompok menulis satu makalah dengan tema perbedaan
awal bulan Qomariah, saya beri waktu dua minggu". Ustadz Ja'far menyudahi
paparannya. Sesuai perintah, Fithri sang Ketua Kelas pun menjalankan tugas.
Pembagian kelompok pun dimulai beberapa saat sebelum jam istirahat.
***
Asrama
Putri Salsabila, menjelang Isya
"Nadia, tau
nggak?"
"Nggak.."
"Ih, syebel deh. Itu
namanya membunuh ekspresi orang".
"Hehehe.. Ada tuan putri Naila
Hayati Harum Mewangi? Hamba akan dengarkan".
"Lebaran kemarin paman dan kakek bertengkar gara-gara pamanku Idul
Fitrinya duluan. Eh, kakekku marah-marah karena ketauan paman aktif di ormas
yang dari dulu, sejak zaman penjajah, kakek nggak suka. Katanya itu ormas sok
moderat. Eh pamanku otomatis nggak
terima dan malah menuding kakek sok klasik dan tradisional", Nadia
menyimak cerita Naila, teman sebangku juga sekamarnya. Serem juga tuh, lebaran
malah berantem. Ayah dan anak lagi.
"Kalau kampungku malah
mutusin hubungan sama kampung tetangga, ya lagi-lagi karena beda paham. Sampe
dilarang nikah sama anak kampung sebelah", Ina yang sedang menekuni Fiqhus
Sunnah pun urun suara.
"Gawat donk, Na. Siapa
tau pangerannya Ina dari kampung tetangga", Naila malah
menggoda. Ina mencibir sambil melempar bantal.
"Berarti permasalahan ini
bisa merambat kemana-kemana, bahkan memicu perpecahan umat", Nadia
menyimpulkan. Teman-temannya mengangguk
setuju. Diam-diam Nadia menemukan inspirasi untuk judul makalahnya. Semoga
suatu hari nanti ada jalan tengah permasalahan ini. Betapa indahnya. Andai beda
itu tak pernah ada.
Bu'uts Permai, Diambang Petang
*Minisiswi
Al Azhar, Tingkat IV. Jur Hadith wa
'Ulumuhu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar