Rabu, 17 Oktober 2012

Gender



Masih perlukah persamaan gender itu bagi Wanita Muslimah ... ? by Alexyusandria Moenir 

Diujung zaman ini, dimana masing masing kita seharusnya memperkuat diri dengan keimanan dan menambah pengetahuan tentang syari’at Islam dalam diri, justru kebanyakan manusia makin terpuruk dalam dunia yang kian menyesatkan ini.

Hal ini terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan, termasuk juga kehidupan wanita muslimah, yang tanpa ilmu, malah ikut ikutan bersorak dijalanan maupun melalui media masa memperjuangkan hak persamaan antara wanita dan laki laki, atau lebih elitenya dikenal dengan istilah Hak Persamaan Gender.
Padahal tanpa perlu berjuang, sebenarnya Islam telah memuliakan wanita apapun kedudukannya, baik sebagai ibu, anak, saudara perempuan, bibi, istri maupun wanita asing.

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda : Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempun dan bersabar atas mereka dan memberikan mereka pakaian dari hasil usahanya maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari nereka (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, no. 76)
Beliau juga bersabda : Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan dia tetap berbuat baik kepada mereka, anak-anak perempuan tersebut akan menjadi tameng dari api Neraka (HR. Muslim, no.6862)

Jadi sebenarnya kedudukan wanita muslimah sudah dalam posisi yang tidak perlu lagi diperjuangkan hak haknya, karena Allah telah menjamin kehidupan wanita muslimah itu sendiri,  yang tentu saja tetap sesuai dengan kodrat alaminya sebagai wanita, yang memiliki kelemahan dan kelebihan yang berbeda dengan lelaki.
Imam Ath-Thabrani meriwayatkan di Al-Mu’jamul Kabir (20/374, no.648) dari hadits Al-Miqdam bin Ma’di Karb radhiyallahu ‘anhu dengan isnad shahih, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama berdiri di hadapan manusia. Maka ia memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda : Sesungguhnya Allah mewasiatkan kepada kalian agar memperlakukan wanita dengan baik. Sesungguhnya Allah mewasiatkan kalian agar memperlakukan wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka adalah ibu ibu kalian, putri putri kalian dan bibi bibi kalian. Sesungguhnya ada seorang dari Ahli Kitab yang menikahi seorang wanita , dan ia tidak pernah mengikat tangan wanita itu dengan benang. Maka salah satu dari keduanya tidak membenci pasangannya sampai mati.

Begitulah Islam, dimana ajarannya sangat berkepentingan dalam membentuk wanita muslimah yang salehah. Yaitu, wanita-wanita yang memainkan perannya dalam membina keluarga untuk menuju keluarga yang sakinah dan mendidik putra putrinya, agar menjadi anak-anak yang saleh dan salehah untuk kelak akan mengabdi untuk masyarakat, sebagai mana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan Allah menyuruh anak cucu Adam untuk lebih dulu memuliakan ibunya sebelum ayahnya, dengan kemuliaan khusus, menganjurkan untuk senantiasa berbakti dan berbuat baik kepada ibu. Senantiasa membantunya, tidak lupa mendoakannya. Dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang menyakiti ibu.
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : Ya Rasulullah, siapa manusia yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?” Jawab Nabi : Ibumu Ia bertanya lagi : Lalu siapa? Jawab beliau : Ibumu, Ia bertanya lagi : Lalu siapa lagi? Beliau jawab : Ayahmu [Diriwayatkan oleh Imam Bukhari]

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia[850]. (QS Al Israa’ 17 : 23)
[850]. Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
Begitu juga sebagai istri, seorang muslimah sangat dilindungi oleh Islam, sehingga seorang suami berkewajiban memperlakukannya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Bahkan andaikan memiliki penghasilan sendiripun, seorang suami tetap berkewajiban menafkahi istrinya.

Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Aku bertanya : Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya? Beliau menjawab : Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah. [HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan : “Hasan shahih”]
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS An-Nisaa’ 4 : 19)
[278]. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
[279]. Maksudnya : berzina atau membangkang perintah
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian. [HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi]
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam.

Wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya.

Sehingga teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.

Padahal Rasulullah menyediakan khusus waktu dimana beliau mengajar para wanita. Para wanita shahabiyah keluar rumah dan berkumpul untuk belajar dari Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan pada dua hari raya Islam yaitu `Iedul Fithri dan `Iedul Adhha, para wanita dianjurkan untuk hadir di tempat shalat (mushalla) meskipun mereka sedang mendapat haidh. Berkumpul bersama dengan para laki-laki untuk mendengarkan khutbah dan menghadiri shalat `Ied.
Para wanita juga diperbolehkan bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Pada masa Nabi shalalallahu ‘alaihi wasallam, para wanita aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad shalalallahu ‘alaihi wasallam.
Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli.
Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya : Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Jika kita lihat kembali sejarah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka kita akan melihat banyak sekali tokoh-tokoh sahabat wanita yang juga bekerja baik di bidang perdagangan atau di bidang yang lainnya. Kita lihat istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri yaitu Sayidah Khadijah r.a beliau adalah orang yang sangat terkenal sekali dalam keahlian berdagang, bahkan beliau adalah wanita terkaya di Makkah pada zaman itu.

Diantaranya juga sayidah Asma’ binti Abu bakar r.a. Beliau juga bekerja diladang suaminya Zubair ibnu Awam dan mengangkat biji korma dari ladang menuju rumahnya. Padahal jarak antara ladang dengan rumahnya sangat jauh sekali. Dan masih banyak lagi sahabat wanita yang lainnya yang ikut andil dalam bekerja mencari nafkah.  
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul shalalallahu ‘alaihi wasallam. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digaris bawahi bahwa Rasul shalalallahu ‘alaihi wasallam banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda : Sebaik-baik "permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).

Memang banyak sekali orang-orang yang menginginkan, dan berkehendak agar wanita keluar dari fitrah kewanitaannya yang sebenarnya merupakan modal dan kekayaannya. Dan jika hal ini benar-benar terjadi, maka wanita tak akan ada lagi harganya sepeser pun. Karena mereka kurang mengerti, bahwa pemberian hak dan kewajiban harus disesuaikan dengan kodrat wanita muslimah secara syari’at Islam
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS Al A’raaf 7 : 27)

Begitu terhormatnya kedudukan wanita dalam ajaran Islam, sehingga seorang ulama Syech Ibrahim Muhammad Al Jamal pernah mengungkapkan : Wanita adalah lambang kedudukan dan kemuliaan dalam sebuah keluarga, wanita yang shalihah memenuhi hatinya dengan kerinduan, dan keridhaan terhadap Allah subhanahu wata'ala, serta memenuhi dunia dengan ketenangan dan kearifan emas, tanpa wanita adalah kobaran api permata, tanpa wanita adalah kayu rumah tangga. Tanpa wanita adalah bagaikan masjid tanpa Imam, dan bagaikan orang berjalan tanpa petunjuk, wanita adalah pahlawan, dari merekalah berkembangnya ummat dimuka bumi ini, ibu adalah sangat dekat dengan anak-anaknya, dengan segala kasih sayangnya.

Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para wanita di masa Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam dikurung di dalam rumah. Sebaliknya, para wanita shahabiyah diriwayatkan banyak sekali melakukan aktifitas di luar rumah. Baik untuk urusan dagang, dakwah, silaturrahim, rekreasi bahkan perang sekalipun. Yang paling jelas dan tidak mungkin ditolak adalah keluarnya para wanita ke masjid.
Sesuatu yang pernah ingin dilarang oleh pihak tertentu, namun tetap diberikan hak oleh Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga shalat jamaah di masjid di masa Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam tetap dihadiri oleh jamaah wanita. Maka mereka akan mendapat pahala shalat jamaah sebagaimana laki-laki meskipun bila tidak dilakukannya tidak menjadi masalah.

Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezaliman-kezaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al Hujuraat 49 : 13)
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An Nahl 16 : 97)
[839]. Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

Sesungguhnya wanita mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, karena dialah sekolah pertama dalam membangun masyarakat shaleh selama dia berjalan sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Alangkah naifnya muslimah, andai masih tidak juga dapat berfikir, padahal rata rata wanita zaman sekarang telah mengenyam pendidikan tinggi, dimana pendidikian tersebut selain mencerdaskan otak, seharusnya juga bermanfaat bagi hati agar dapat menyeimbangkan antara  akal dan keimanan demi kehidupan dunia akhirat.
Benarkah Persamaan Gender itu sesuatu hal yang memang tak ada dalam diri wanita wanita mukmin, sehingga harus dituntut, padahal Allah telah menjaminnya dalam Al Qur'an ... jika kita memang Islam yang Kaffah...?
Wallahu a’lam ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar