Diujung
zaman ini, dimana masing masing kita seharusnya memperkuat diri dengan keimanan
dan menambah pengetahuan tentang syari’at Islam dalam diri, justru kebanyakan
manusia makin terpuruk dalam dunia yang kian menyesatkan ini.
Hal
ini terjadi hampir di seluruh aspek kehidupan, termasuk juga kehidupan wanita
muslimah, yang tanpa ilmu, malah ikut ikutan bersorak dijalanan maupun melalui
media masa memperjuangkan hak persamaan antara wanita dan laki laki, atau lebih
elitenya dikenal dengan istilah Hak Persamaan Gender.
Padahal
tanpa perlu berjuang, sebenarnya Islam telah memuliakan wanita apapun
kedudukannya, baik sebagai ibu, anak, saudara perempuan, bibi, istri maupun
wanita asing.
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda : Barangsiapa memiliki tiga
orang anak perempun dan bersabar atas mereka dan memberikan mereka pakaian dari
hasil usahanya maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari nereka (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, no. 76)
Beliau juga bersabda : Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak
perempuan dia tetap berbuat baik kepada mereka, anak-anak perempuan tersebut
akan menjadi tameng dari api Neraka (HR.
Muslim, no.6862)
Jadi
sebenarnya kedudukan wanita muslimah sudah dalam posisi yang tidak perlu lagi
diperjuangkan hak haknya, karena Allah telah menjamin kehidupan wanita muslimah
itu sendiri, yang tentu saja tetap sesuai dengan kodrat alaminya sebagai
wanita, yang memiliki kelemahan dan kelebihan yang berbeda dengan lelaki.
Imam Ath-Thabrani meriwayatkan di Al-Mu’jamul Kabir (20/374,
no.648) dari hadits Al-Miqdam bin Ma’di Karb radhiyallahu ‘anhu dengan isnad shahih,
bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallama berdiri di hadapan manusia. Maka ia memuji dan
menyanjung Allah, kemudian bersabda : Sesungguhnya Allah
mewasiatkan kepada kalian agar memperlakukan wanita dengan baik. Sesungguhnya
Allah mewasiatkan kalian agar memperlakukan wanita dengan baik. Sesungguhnya
mereka adalah ibu ibu kalian, putri putri kalian dan bibi bibi kalian.
Sesungguhnya ada seorang dari Ahli Kitab yang menikahi seorang wanita , dan ia
tidak pernah mengikat tangan wanita itu dengan benang. Maka salah satu dari
keduanya tidak membenci pasangannya sampai mati.
Begitulah
Islam, dimana ajarannya sangat berkepentingan dalam membentuk wanita muslimah
yang salehah. Yaitu, wanita-wanita yang memainkan perannya dalam membina
keluarga untuk menuju keluarga yang sakinah dan mendidik putra putrinya, agar
menjadi anak-anak yang saleh dan salehah untuk kelak akan mengabdi untuk
masyarakat, sebagai mana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan
Allah menyuruh anak cucu Adam untuk lebih dulu memuliakan ibunya sebelum
ayahnya, dengan kemuliaan khusus, menganjurkan untuk senantiasa berbakti dan
berbuat baik kepada ibu. Senantiasa membantunya, tidak lupa mendoakannya. Dan
menjauhi segala bentuk perbuatan yang menyakiti ibu.
Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata : Ya Rasulullah, siapa manusia yang lebih berhak
untuk saya pergauli dengan baik?”
Jawab Nabi : Ibumu
Ia bertanya lagi : Lalu siapa? Jawab beliau : Ibumu, Ia bertanya lagi : Lalu
siapa lagi? Beliau jawab : Ayahmu
[Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari]
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia[850]. (QS Al Israa’ 17 : 23)
[850]. Mengucapkan kata ah kepada orang tua tidak
dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka
dengan lebih kasar daripada itu.
Begitu
juga sebagai istri, seorang muslimah sangat dilindungi oleh Islam, sehingga
seorang suami berkewajiban memperlakukannya dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang. Bahkan andaikan memiliki penghasilan sendiripun, seorang suami tetap
berkewajiban menafkahi istrinya.
Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,
Aku bertanya :
Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi
kewajiban suaminya? Beliau
menjawab : Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan.
Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau
pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau
meninggalkannya kecuali di dalam rumah. [HR
Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan : “Hasan
shahih”]
Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa[278]
dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata[279].
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak
(QS An-Nisaa’ 4 : 19)
[278]. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita
tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah
apabila seorang meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota
keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri
atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak
dibolehkan kawin lagi.
[279]. Maksudnya : berzina atau membangkang perintah
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : Bertaqwalah
kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian.
Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka
dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian
dari kalian. [HR Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi]
Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab
antara pria dan wanita telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini. Sebagai
peluang dan jembatan emas buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis
perempuan anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan
perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai
propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak wanita Islam.
Wanita-wanita
muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah
adalah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab
atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya,
direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya.
Sehingga
teropinikan wanita muslimah itu tak lebih dari sekedar calon ibu rumah tangga
yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur.
Oleh karena itu agar wanita bisa maju, harus direposisi ke ruang
rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan cara apapun seperti halnya kaum lelaki di masa moderen dewasa ini.
Padahal
Rasulullah menyediakan khusus waktu dimana beliau mengajar para wanita. Para
wanita shahabiyah keluar rumah dan berkumpul untuk belajar dari Rasulullah
shalalallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan pada dua hari raya Islam yaitu `Iedul
Fithri dan `Iedul Adhha, para wanita dianjurkan untuk hadir di tempat shalat
(mushalla) meskipun mereka sedang mendapat haidh. Berkumpul bersama dengan para
laki-laki untuk mendengarkan khutbah dan menghadiri shalat `Ied.
Para
wanita juga diperbolehkan bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di
luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga
pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana
terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat
pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri
dan lingkungannya.
Pada
masa Nabi shalalallahu ‘alaihi wasallam, para wanita aktif pula dalam berbagai
bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim
binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah binti Huyay, istri Nabi
Muhammad shalalallahu ‘alaihi wasallam.
Ada
juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan,
nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai
seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat
sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah
perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi
kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli.
Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya : Apabila Anda akan membeli
atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli
atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Jika
kita lihat kembali sejarah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka kita
akan melihat banyak sekali tokoh-tokoh sahabat wanita yang juga bekerja baik di
bidang perdagangan atau di bidang yang lainnya. Kita lihat istri Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri yaitu Sayidah Khadijah r.a beliau adalah
orang yang sangat terkenal sekali dalam keahlian berdagang, bahkan beliau
adalah wanita terkaya di Makkah pada zaman itu.
Diantaranya
juga sayidah Asma’ binti Abu
bakar r.a. Beliau juga bekerja diladang suaminya Zubair ibnu
Awam dan mengangkat biji korma dari ladang menuju rumahnya. Padahal jarak
antara ladang dengan rumahnya sangat jauh sekali. Dan masih banyak lagi sahabat
wanita yang lainnya yang ikut andil dalam bekerja mencari nafkah.
Al-Syifa',
seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a.
sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul shalalallahu ‘alaihi
wasallam. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai
bidang usaha dan pekerjaan.
Di
samping yang disebutkan di atas, perlu juga digaris bawahi bahwa Rasul
shalalallahu ‘alaihi wasallam banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada
perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan
pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda : Sebaik-baik
"permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis
diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).
Memang
banyak sekali orang-orang yang menginginkan, dan berkehendak agar wanita keluar
dari fitrah kewanitaannya yang sebenarnya merupakan modal dan kekayaannya. Dan
jika hal ini benar-benar terjadi, maka wanita tak akan ada lagi harganya
sepeser pun. Karena mereka kurang mengerti, bahwa pemberian hak dan kewajiban
harus disesuaikan dengan kodrat wanita muslimah secara syari’at Islam
Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS Al A’raaf 7 : 27)
Begitu
terhormatnya kedudukan wanita dalam ajaran Islam, sehingga seorang ulama Syech Ibrahim Muhammad Al Jamal
pernah mengungkapkan :
Wanita adalah lambang kedudukan dan kemuliaan dalam sebuah keluarga, wanita
yang shalihah memenuhi hatinya dengan kerinduan, dan keridhaan terhadap Allah
subhanahu wata'ala, serta memenuhi dunia dengan ketenangan dan kearifan emas,
tanpa wanita adalah kobaran api permata, tanpa wanita adalah kayu rumah tangga.
Tanpa wanita adalah bagaikan masjid tanpa Imam, dan bagaikan orang berjalan
tanpa petunjuk, wanita adalah pahlawan, dari merekalah berkembangnya ummat
dimuka bumi ini, ibu adalah sangat dekat dengan anak-anaknya, dengan segala
kasih sayangnya.
Tidak
ada riwayat yang menyebutkan bahwa para wanita di masa Rasulullah shalalallahu
‘alaihi wasallam dikurung di dalam rumah. Sebaliknya, para wanita shahabiyah
diriwayatkan banyak sekali melakukan aktifitas di luar rumah. Baik untuk urusan
dagang, dakwah, silaturrahim, rekreasi bahkan perang sekalipun. Yang paling
jelas dan tidak mungkin ditolak adalah keluarnya para wanita ke masjid.
Sesuatu
yang pernah ingin dilarang oleh pihak tertentu, namun tetap diberikan hak oleh
Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga shalat jamaah di masjid di
masa Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam tetap dihadiri oleh jamaah
wanita. Maka mereka akan mendapat pahala shalat jamaah sebagaimana laki-laki
meskipun bila tidak dilakukannya tidak menjadi masalah.
Dienul
Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezaliman-kezaliman
yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi.
Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS Al Hujuraat 49 : 13)
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. (QS An
Nahl 16 : 97)
[839]. Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan
dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
Sesungguhnya
wanita mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, karena dialah
sekolah pertama dalam membangun masyarakat shaleh selama dia berjalan sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Alangkah
naifnya muslimah, andai masih tidak juga dapat berfikir, padahal rata rata
wanita zaman sekarang telah mengenyam pendidikan tinggi, dimana pendidikian
tersebut selain mencerdaskan otak, seharusnya juga bermanfaat bagi hati agar
dapat menyeimbangkan antara akal dan keimanan demi kehidupan dunia
akhirat.
Benarkah
Persamaan Gender itu sesuatu hal yang memang tak ada dalam diri wanita wanita
mukmin, sehingga harus dituntut, padahal Allah telah menjaminnya dalam Al
Qur'an ... jika kita memang Islam yang Kaffah...?
Wallahu a’lam ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar