Lembutmu Tak Berarti
kau mudah dijual beli
kau mampu menyaingi lelaki
dalam berbakti
lembutmu bukan hiasan
bukan jua kebanggaan
tapi kau sayap kiri
pada suami yang sejati
di balik bersih wajahmu
di balik tabir dirimu
ada rahasia agung
tersembunyi dalam diri
itulah sekeping hati
yang takut pada ilahi
BEM MUMTAZ
ajang kreatifitas dan dakwah para dosen dan mahasiswa Ma'had az-Zubair bin al-Awwam Padang
Rabu, 26 Desember 2012
Oase Ditengah Jazirah
Gajah-gajah Abrohahkah yang kembali
menjeritkan kematian itu?
di Jazirah Sebuah Kota Tua Makkah
tangis kelahiran itupun nyaring kependengaran
azan semesta kembali membuka dunia
lalu beribu-ribu shalawat para malaikat
menyingkap kelambu langit yang pekat
lalu burung-burung ababil berhamburan
menyemburkan kerikil, adalah bara di kepala mereka
tapi, bayi akhir nabi mengucap doa semesta
Gajah Abrahahkah yang kembali mengepung jazirah itu
mata mereka nanar mengintai darah2 dan dinar
lalu merekapun runtuh hanya buat debu-debu
langit tunduk, pohon-pohon kurma merunduk
kafilah ontapun tertunduk......
gajah Abrahahkah yang menandukk??????????
Oleh : BEM Mumtaz Banaat
menjeritkan kematian itu?
di Jazirah Sebuah Kota Tua Makkah
tangis kelahiran itupun nyaring kependengaran
azan semesta kembali membuka dunia
lalu beribu-ribu shalawat para malaikat
menyingkap kelambu langit yang pekat
lalu burung-burung ababil berhamburan
menyemburkan kerikil, adalah bara di kepala mereka
tapi, bayi akhir nabi mengucap doa semesta
Gajah Abrahahkah yang kembali mengepung jazirah itu
mata mereka nanar mengintai darah2 dan dinar
lalu merekapun runtuh hanya buat debu-debu
langit tunduk, pohon-pohon kurma merunduk
kafilah ontapun tertunduk......
gajah Abrahahkah yang menandukk??????????
Oleh : BEM Mumtaz Banaat
Selasa, 25 Desember 2012
Jilbab Bukan Topeng
asumsi bahwa orang yang pakai jilbab harus lembut, halus tutur katanya, feminim, tidak boleh begini, begitu adalah pemahaman yang memojokan jilbaber itu sendiri. jilbab bukan topeng sandiwara yang mengharuskan pemakainya tampil menjadi orang lain. merupakan tindakan konyol memakai jilbab dengan simbol dan karakter palsu. Jilbab adalah pakaian menutup aurat secara sempurna sehingga tidak tubuh secara sempurna terlindung. jilbab bukan lambang wanita lemah, melainkan pakaian muslimah secara umum. semua wanita muslimah disunnahkan memakai jilbab tanpa melihat profesi dan pekerjaannya.
Nusaibah binti ka'ab (jago karate) sebagai pendekar penjaga rasulullah adalah gadis berjilbab, Aisyah gadis lembut, feminim adalah gadis berjilbab, khadijah seorang tokoh perempuan adalah perempuan berjilbab.
wanita jilbab dalam pandangan kaum adam juga beragam, Jilbab memiliki karkater sendiri yaitu karakter kepribadian sempurna menutup aurat atas perintah Allah dan rasulnnya, kepribadian Berjilbab adalah kepribadian Allah dan rasul-Nya., maka jangan artikan jilbab dari kepribadian individu yang memakainya,
warna-warni jilbab meruapakan warna yang dicelupkan Allah untuk kaum hawa dengan tujuan untuk perlindungan, keselamatan, kenyamanan, dan kemuliaan mereka sendiri.
semoga bermanfaat !!!!!!!!
Oleh : BEM Banat Ma'had Az Zubair
Nusaibah binti ka'ab (jago karate) sebagai pendekar penjaga rasulullah adalah gadis berjilbab, Aisyah gadis lembut, feminim adalah gadis berjilbab, khadijah seorang tokoh perempuan adalah perempuan berjilbab.
wanita jilbab dalam pandangan kaum adam juga beragam, Jilbab memiliki karkater sendiri yaitu karakter kepribadian sempurna menutup aurat atas perintah Allah dan rasulnnya, kepribadian Berjilbab adalah kepribadian Allah dan rasul-Nya., maka jangan artikan jilbab dari kepribadian individu yang memakainya,
warna-warni jilbab meruapakan warna yang dicelupkan Allah untuk kaum hawa dengan tujuan untuk perlindungan, keselamatan, kenyamanan, dan kemuliaan mereka sendiri.
semoga bermanfaat !!!!!!!!
Oleh : BEM Banat Ma'had Az Zubair
Senin, 10 Desember 2012
‘ILLAT DALAM HADÎTS
‘ILLAT DALAM HADÎTS
Oleh : Afdila Nisa, Lc (Wakil Mudir Banat)
A.
PENDAHULUAN
Dalam kaidah ke-shahîh-an
hadîts, salah satu syarat
penting yang sering dipergunakan dalam menentukan validitas hadîts adalah ‘adam al-‘illat atau
ghair al-mu’allal (tidak cacat). Bahwa sebuah hadîts tidak dapat dianggap shahîh meskipun
telah dipastikan bersambung sanadnya dengan periwayat yang tsiqqah
hingga dapat dijamin terbebas dari ‘illat (cacat).
Hanya saja, syarat ghair al-mu‘allal
sebagai salah satu kaidah kesahihan hadîts
mengundang banyak permasalahan yang perlu ditinjau, Apakah 'illat itu?
Bagaimana posisi dan pengaruhnya
terhadap keshahihan hadîts? Dan
sejauh mana perkembangan 'illat sebagai salah satu disiplin ilmu? Maka melalui
tulisan ini penulis mencoba untuk mengkaji tentang ‘illat dan
mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang terkait.
B.
PEMBAHASAN
1.
Defenisi
‘Illat
Kata ‘illat/'illah (العلّة) adalah bentuk masdar
dari kata ‘alla-ya’illu (علّ-يعلّ), secara etimologi berarti sakit, peristiwa yang
melenakan seseorang dari kepentingannya.[1]
Adapun secara terminologi,
ulama hadîts mendefenisikan ‘illat dengan beberapa
pengertian:
a. Menurut Ibnu Shalah:
عبارة عن أسباب خفية غامضة قاضحة في
الحديث[2]
(Ungkapan untuk sebab-sebab tersembunyi (laten) yang menciderai hadîts).
b.
Menurut al-Nawawiy:
عبارة عن أسباب غامض مع أن الظاهر
السلامة منه[3]
(Sebab
tersembunyi yang menodai hadîts
walaupun secara lahiriah tampak terhindar dari cacat)
c.
Menurut
Imam Turmudziy:
أسباب خفية تقع في إسناد ومتن ظاهرهما الصحة
[4]
(Sebab (cacat) yang tersembunyi pada
sanad dan matan hadîts,
padahal secara zhahir sanad dan matan itu terlihat shahih
d.
Istilah ‘illat
juga kadang digunakan untuk menyebut kebohongan perawi, kelalaiannya,
keburukan hapalannya, dan sebab-sebab minor lain yang kentara.[5]
Dalam hal ini, penulis lebih
cenderung pada pendapat ahli hadîts yang mendefinisikan hadis ma‘lul[6]
(mempunyai 'illat) sebagai hadîts yang secara kasat mata bebas dari ‘illat,
namun setelah diteliti ternyata ditemukan cacat yang menciderai ke- shahîh-annya (al-qadih).
Terkadang ‘illat diartikan secara umum dan luas tidak hanya
karena sebab yang tersembunyi, tetapi juga karena sebab yang tidak tersembunyi
(nyata) . ‘Illat dalam artian ini adalah segala bentuk kecacatan yang
menimpa suatu hadîts apakah
karena kedustaan perawi, atau ghaflah, ataupun su’u al-hifz. Imam
Tirmizi bahkan menganggap nasakh sebagai ‘illat.[7].
Berkaitan dengan hal ini, Mahmud al-Thahhan menyebut ‘illat karena sebab
tersembunyi dengan istilah ‘illat terminologis, sedangkan yang tidak
tersembunyi disebutnya sebagai ‘illat non-terminologis.[8]
Untuk membedakan ‘illat terminologis dari ‘illat non-terminologis
yang disebutkan ulama, harus memenuhi dua syarat ; pertama kecacatan tersebut
tidak tampak dan tersembunyi. Kedua, merusak keshahihan hadîts. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi,
seperti ‘illat itu nyata atau tidak merusak, maka tidak dikatakan ‘illat.[9]
Dari pengertian dan penjelasan
di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah kecacatan terselubung dan
tidak nyata yang terdapat pada hadits yang telah ditetapkan ke- shahîh-annya.
'Illat ini digunakan untuk
membedah hadîts- hadîts yang sudah dinyatakan shahih,
sedangkan hadits yang statusnya sudah jelas sebagai hadîts dhai'f, tidak dikaji lagi. Tujuannya adalah
menyingkap kemungkinan adanya cacat yang tersembunyi di dalamnya, sekalipun
tampilan luarnya terlihat - shahîh Jika demikian halnya, bisa
jadi ada sebuah hadîts sudah
dinyatakan ke- shahîh-annya berdasarkan syarat-syarat global (zhahir)
ke-shahîh-an hadîts,
tetapi karena ditemukan kecacatan yang tersembunyi di dalamnya, maka label shahîh
pada hadîts tersebut menjadi
gugur.
2.
Perkembangan
Teori 'Illat al Hadits
Sebagai sebuah istilah, ‘illat tentu saja memiliki awal mula,
namun tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakannya, meskipun sudah dikenal luas di kalangan ahli hadîts sejak masa Syu’bah, Yahya ibnu
Sa’id al-Qattan (w. 198 H) dan ‘Abdurrahman ibnu Mahdiy. Hal ini bisa dipahami
mengingat pengetahuan tentang teori ini hanya dikuasai oleh segilintir
kalangan yang memiliki pemahaman yang brilian, hapalan yang kuat, dan wawasan
yang luas mengenai kondisi-kondisi sanad, matan, dan status para perawi.[10]
Identifikasi ‘illat hadîts
membutuhkan penelaahan yang luas, memori ingatan yang bagus, dan pemahaman yang
jelimet karena ‘illat merupakan virus laten (sabab ghamid}) yang
bersifat samar-samar, sekalipun bagi kalangan yang intens mengkaji disiplin
ilmu-ilmu hadîts. Sehingga muncul
satu disipin varian dari 'ulum al-hadits yang disebut "Ilmu ‘illal
al hadist"; yaitu ilmu yang membahas mengenai sebab-sebab samar dari
implikasinya dalam menodai ke-shahîh-an hadîts.
Ibnu Hajr mengungkapkan bahwa 'illat merupakan jenis disiplin
ilmu hadis yang paling kabur (samar) dan paling jelimet, dan tidak ada yang
mengaksesnya kecuali orang yang dianugerahi oleh Allah pemahaman yang tajam,
kapabilitas yang luas, dan pengetahuan yang sempurna mengenai
tingkatan-tingkatan perawi dan kompetensi yang mumpuni mengenai sanad-sanad dan
matan-matan.[11]
Adapun
karya tulis (kitab) yang paling monumental dalam disiplin ini adalah:[12]
- "Kitab
al-‘Ilal" karya 'Ali ibnu al-Madiniy, syaikh atau guru Imam
al-Bukhariy, disusul kemudian oleh kitab dengan judul serupa karya al- Khallal.
- “‘Ilal al-Hadits” karya Ibnu Abi Hatim.
- Konon,
Ibnu Hanbal memiliki sebuah kitab mengenai 'illat yang masih berupa
manuskrip dengan judul “Al-‘Ilal wa Ma‘rifah ar-Rijal”.
- “Al-‘Ilal al-Kubra” dan “al-‘Ilal al-Shaghir” karya
al-Tirmidziy.
- “Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadits al-Nabawiyyah” karya Al-
Daruquthniy.
Ini merupakan kitab ‘illal yang paling lengkap dan luas pembahasannya,
yang dibukukan oleh muridnya, al-Hafiz Abu Bakr al-Barqaniy.
-
Sejumlah kitab ‘illat juga dinisbatkan masing-masing pada al-Bukhariy, Imam
Muslim, Ibnu Abi Syaibah, al-Sajiy, Ibnu al-Jauzi, dan Ibnu Hajar.
3.
Letak
'Illat Dalam Hadîts
dan Pengaruhnya
‘Illat hadît dapat terjadi pada sanad, pada matan, dan pada sanad dan
matan sekaligus, tetapi mayoritas ‘illat hadîts terjadi pada sanad . [13]
‘Klasifikasi 'illat
menurut tempat identifikasi dan pengaruhnya, adalah sebagai berikut:[14]
Pertama, ‘illah yang ada
dalam sanad dan tidak berefek sama sekali, baik terhadap sanad maupun matan. Contoh,
hadîts yang diriwayatkan
seorang mudallis[15]
dengan model perwayatan ‘an‘anah (menggunakan kata ‘an dalamperiwayatannya).
Hadîts seperti ini wajib ditangguhkan
status ke-maqbul-annya; dan jika ditemukan riwayat yang sama dari
jalur lain dengan menggunakan model periwayatan sima‘ (menggunakan kata sami‘tu
dalam periwayatannya), maka semakin jelaslah bahwa ‘illah yang ada
dalam hadîts pertama bersifat
tidak menciderai.
Kedua, ‘illah yang ada dalam
sanad dan menciderai sanad saja, tanpa menciderai matannya. Contoh, hadîts yang diriwayatkan oleh
Ya’la ibnu ‘Ubaid (dari al-Tanafisiy dari al-Tsauriy dari ‘Amru ibnu
Dinar dari Ibnu ‘Umar dari Rasulullah saw.; beliau bersabda: “ْ
بيَعَِّانِ باِلْخِياَرِ ” (Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar). Di sini,
Ya’la keliru dalam menyebut ‘Amru ibnu Dinar, sebab yang tepat adalah ‘Abdullah
ibnu Dinar. Ralat ini merujuk pada riwayat yang disinyalir oleh para imam yang
merupakan sahabat/murid as-Tsauriy, seperti al-Fadhl ibnu Dukain, Muhammad ibnu
Yusuf al- Firyani, dan lain-lain.
Ketiga, ‘illah yang ada dalam
sanad dan menciderai sanad sekaligus matannya. Contoh, hal yang menimpa
Abu Usamah Hammad ibnu Usamah al-Kufi, salah seorang perawi tsiqah dari
‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir –salah seorang perawi tsiqah dari
Syam-. Konon ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir datang ke Kufah dan menyampaikan
hadîts di sana, namun Abu Usamah
tidak mendengar hadîts ini
langsung dari ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir. Beberapa waktu kemudian, datang
‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Tamim – salah seorang perawi dha‘if dari
Syam juga. Abu Usamah mendengarkan hadîts
darinya, lalu ia bertanya tentang namanya, dan dijawab: ‘Abdurrahman ibnu Yazid
(saja tanpa menyebutkan nama belakangnya lagi). Abu Usamah mengira bahwa ia
adalah ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir, maka ia menyatakan diri mendapat hadîts darinya dan menisbatkannya
apa yang disampaikan ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Tamim pada ‘Abdurrahman ibnu
Yazid ibnu Jabir. Sehingga terdapat banyak kemunkaran pada riwayat Usamah dari
Ibnu Jabir, padahal keduanya tsiqqah. Hal seperti ini hanya bisa
diketahui oleh kalangan kritikus hadîts
yang kemudian melakukan pemilahan dan menjelaskannya, misalnya al-Bukhariy,
Ibnu Abi Hatim, dan lainnya.
Keempat, ‘illah yang ada
dalam matan dan tidak menciderai matan
maupun
sanadnya. Contoh, perbedaan redaksi dalam hadîts-hadîts
Shahih al-Bukhariy dan Shahih Muslim. Jika semuanya bisa dikembalikan pada satu
makna (pengertian), maka unsur pencideraannya menjadi hilang. Misalnya,
riwayat Umar yang bercerita bahwa pada masa Jahiliyyah dulu ia pernah bernazar
untuk melakukan i’tikaf selama sehari di Masjidil Haram, maka dalam satu versi
Nabi saw. bersabda: “Pergi dan i’tikaflah sehari!” Namun dalam versi
lain, Nabi saw. bersabda, “Pergi dan i’tikaflah semalam!” Perbedaan redaksi
matan “sehari” dan “semalam” menurut Imam an-Nawawi tidak sampai menciderai
matan maupun sanad, karena barangkali Umar bertanya pada Nabi tentang i’tikaf
sehari dan ia ditanya tentang i’tikaf semalam.
Kelima, ‘illah yang ada dalam
matan dan menciderai matan maupun sanadnya. Contoh, hadîts yang diriwayatkan bi al-ma‘na oleh seorang
perawi, namun spekulasinya salah, sebab yang dimaksud oleh lafal hadîts bukan seperti yang ia
tulis. Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kecacatan matan maupun sanad
riwayat tersebut. Misalnya, hadîts
dari Jarir ibnu Yazid dari Anas ibnu Malik,dan Ibnu Abi Laila dari Abdul Karim
dari Anas ibnu Malik bahwa Rasulullah saw. berwudhu dengan menggunakan dua
liter air. Ini adalah riwayat bi al-ma‘na yang salah dan dha’if sanadnya,
sebab yang shahîh dari Anas adalah Rasulullah saw. berwudhu
dengan satu mud.[16]
Keenam, ‘illah yang ada dalam matan dan hanya menciderai matannya minus
sanadnya. Contoh, hadîts
yang diriwayatkan tunggal oleh Muslim dari narasi Anas dengan redaksi lugas
yang menafikan
“Bismillahirrahmanirrahim”.
Para kritikus hadîts
menilai hadîts dengan redaksi
tersebut ma‘lul mengingat mayoritas ulama’ menyatakan keabsahan membaca
basmalah di awal surah al-Fatihah. Menurut mereka, Muslim atau salah seorang
perawi dalam sanadnya memahami hadîts
yang sudah menjadi kesepakatan bersama al- Bukhariy dan Muslim:
فَكاَنوُا يسَْتفَْتحُِونَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
ini
dengan pemahaman bahwa mereka tidak membaca basmalah, lalu ia
meriwayatkannya menurut pemahamannya, dan
salah, sebab arti
sebenarnya hadîts
tersebut adalah bahwa surat yang mereka baca
pertama adalah surah al-Fatihah dan tidak ada
hubungannya dengan
dibaca tidaknya basmalah.
Dari paparan di atas, bisa kita catat satu kebiasaan penting yang
berlaku luas di kalangan ahli hadîts, bahwa mereka kadang menta‘lil
hadîts berdasarkan
‘illah yang tidak menciderai (‘illah ghair qadihah),
sehingga sebagian menyangka bahwa semua hadîts yang dinyatakan
ma‘lul oleh kalangan
ahli hadîts pasti kwalitasnya dha‘if,
padahal
kenyataannya
tidak mesti demikian.
4.
Fenomena
'Illat Dalam Hadîts
Al-Hâkim al-Naisâburiy menginventarisir fenomena-fenomena
hadîts yang terinfeksi ‘illah ke dalam sepuluh kategori dalam
kitabnya, Ma'rifah 'Ulum al- Hadîts, sebagai
berikut:[17]
a.
Sanad hadîts
kelihatan shahîh, namun di dalamnnya ada orang yang
diketahui tidak pernah mendengar langsung dari orang yang ia
riwayatkan hadîts -nya. Contoh: Hadîts doa kaffarah
al-majlis:
حَدَّثنَاَ أبَوُ عُبيَدَْةَ بنُْ أبَيِ السَّفَرِ الْكوُفِيُّ وَاسْمُهُ أحَْمَدُ بنُْ عَبدِْ اللَّهِ الْهَمْدَانيُِّ حَدَّثنَاَ الْحَجَّاجُ بنُْ
مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ ابنُْ جُرَيجٍْ أخَْبرََنيِ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أبَيِهِ عَنْ
أبَيِ هُرَيرَْةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيهِْ وَسَلَّمَ مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكثَرَُ فِيهِ لَغَطُهُ
فَقَالَ قَبلَْ أنَْ يقَُومَ مِنْ مَجْلِسِه ذَلِكَ سُبحَْانكََ اللَّهُمَّ وَبحَِمْدِكَ أشَْهَدُ أنَْ لَ إلَِهَ إلَِّ أنَتَْ أسَْتغَْفِرُكَ
وَأتَوُبُ إلَِيكَْ إلَِّ غُفِرَ لَهُ مَا كاَنَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِك
Di dalam rangkaian
sanad hadîts ini, Musa ibnu
‘Uqbah seolah-olah mendapat
hadîts langsung dari Suhail
ibnu Abi Shalih, meski tanp menyebut “Sami‘tu” atau “haddatsana” dan
sejenisnya, padahal ia tidak pernah mendengarkannya
langsung dari Suhail.
b.
Hadîts
diriwayatkan secara mursal dari jalur para perawi yang tsiqah dan
hafizh, namun disanadkan dengan gaya yang kelihatannya shahîh.
Contoh, hadîts Qubaisah
ibnu ‘Uqbah dari Sufyan dari Khalid al-Hazza’ dan ‘Ashim dari Abu Qilabah
secara marfu’:
أرَْحَمُ أمَُّتيِ بأِمَُّتيِ أبَوُ بكَرٍْ وَأشََدُّهُمْ فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ
Andaikata sanad hadîts
ini shahîh, tentu ia akan dimasukkan dalam Shahih al-Bukhariy
atau Muslim. Namun nyatanya tidak, karena Khalid al-Hazza meriwayatkannya dari
Abu Qilabah secara mursal.
c.
Hadîts
diriwayatkan secara mahfuz dari
seorang sahabat, namun kemudian diriwayatkan dari selain shahabat-yang lebih
rendah tingkat ke-tsiqah-annya, berdasarkan perbedaan domisili para
perawinya, misalnya riwayat orang-orang Madinah lebih unggul daripada riwayat
orang-orang Kufah. Contoh hadîts
Musa ibnu ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari
ayahnya secara marfu’:
أنََّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِْ وَسَلَّمَ قَالَ إنِيِّ لَسَْتغَْفِراللَّهَ وَأتَوُْبُ إلَِيهِْ فِي الْيوَْم مِائةََ مَرَّةٍ
Hadits ini ma’lûl (terkena 'illah), karena ada versi lain
yang diriwayatkan secara mahfuzh dari jalur Abu Burdah dari al-Agharr
al-Muzani al-Madani.
d.
Suatu hadîts sudah mahfuz
dari seorang sahabat, namun kemudian diriwayatkan dari seorang tabi’i
yang memberikan pernyataan lugas dan mengesankan kesahihan riwayatnya, padahal hadîts tersebut tidak dikenal
dari jalurnya. Contoh, hadîts
Zuhair ibnu Muhammad dari ‘Usman ibnu Sulaiman dari ayahnya, bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. membaca surah al-Thur ketika shalat maghrib.
Hadîts ini ma‘lul, karena ayah ‘Utsman tidak pernah mendengar maupun
melihat langsung Rasulullah Saw., akan tetapi ia meriwayatkannya dari Nafi‘
ibnu Jubair dari Muth‘im dari ayahnya.
e.
Suatu hadîts
diriwayatkan dengan model “‘an‘anah” namun ada satu perawi yang
digugurkan. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat hadîts tersebut dari jalur lain yang mahfuzh. Contoh,
hadîts Yunus dari Syihab dari
‘Ali ibnu al-Husain dari beberapa orang Anshar bahwa mereka pernah bersama
Rasulullah saw., lalu beliau menunjuk sebuah bintang, dan bintang tersebut
langsung bersinar terang. Hadîts
ini ma‘lul karena Yunus meringkas sanadnya, sebab hadîts tersebut sebenarnya dari Ibnu ‘Abbas: “Saya
diceritakan oleh beberapa orang…” Versi terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu
‘Uyainah, Syu’aib dan lain-lain dari al-Zuhairiy.
f.
Adanya perbedaan versi dalam menyebut
seseorang pada rangkaian sanad, sementara dalam versi lain ia sudah
diriwayatkan secara mahfuzh. Contoh, hadîts Ali ibnu al-Husain ibnu al-Waqid dari ayahnya dari
‘Abdullah ibnu Buraidah dari ayahnya dari ‘Umar, bahwasanya ia berkata… (dan
seterusnya). Hadis ini ma‘lul, karena adanya riwayat mahfuzh
yang bersanad dari ‘Ali ibnu Khasyram: Kami diberi hadîts oleh Ali ibnu al-Husain ibnu al-Waqid: Aku mendapat
informasi bahwa Umar berkata…(dan seterusnya).
g.
Adanya perbedaan versi dalam menyebut nama
guru atau meng-anonimkannya. Contoh, hadîts:
الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كرَِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئيِم
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Syihab dari al-Tsauriy dari Hajjaj ibnu Farafisah dari Yahya ibnu Abi Katsir dari Abu Salamah dar Abu Hurairah secara marfu‘.
Dalam versi lain, Muhammad ibnu Katsir meriwayatkannya dengan sanad berbeda,
yakni dengan menganonimkan Yahya ibnu Abi Katsir dan menyebutnya dengan“seorang
laki-laki”. Hadîts dengan
riwayat Muhammad ibnu Katsir ini dengan demikian ma‘lul.
h.
Perawi menjumpai seseorang dan mendengarkan hadîts darinya,
namun ia tidak mendengar beberapa hadîts tertentu darinya. Jika ia
mengklaim meriwayatkan hadîts - hadîts
yang tidak didengarnya
tersebut tanpa
perantara orang lain, maka hadîts
tersebut ma‘lul.
Contoh hadits:
أخَْبرََناَ يزَِيدُ بنُْ هَارُونَ أخَْبرََناَ هِشَامٌ الدَّسْتوََائىُِّ عَنْ يحَْيىَ بنِْ أبَىِ كثَيِرٍ عَنْ أنَسَِ بنِْ مَالِكٍ أنََّ
النبَّىَِّ صلى الله عليه وسلم- كاَنَ إذَِا أفَْطَرَ عِندَْ أنُاَسٍ قَالَ: أفَْطَرَ عِندَْكمُُ الصَّائمُِونَ، وَأكَلََ
طَعَامَكمُُ البَرَْارُ وَتنَزََّلَتْ عَلَيكْمُُ الْمَلئَكِةَُ
Hadîts ini dinyatakan shahîh
sanadnya oleh al-Darimiy, namun jika diteliti lebih lanjut, Yahya ibnu Abi Katsir ternyata
tidak pernah mendengar langsung hadîts ini dari Anas ibnu Malik,
meskipun ia pernah berinteraksi dengannya.
Hal ini dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dari Hisyam
dari Yahya, ia berkata: “Huddistu ‘an Anas” (Aku diberi hadîts
dari Anas), dan seterusnya.
i.
Suatu hadîts
sudah memiliki jalur periwayatan yang ma'ruf, lalu seorang perawi dalam
sanad tersebut meriwayatkannya dari jalur lain, sehingga ia terjebak dalam waham.
Misalnya, hadîts al-Munzir
ibnu Abdullah al- Hizamiy dari Abdul Aziz ibnu al-Majisyun dari Abdullah ibnu
Dinar dari Ibnu Umar:
أنََّ النبَّىَِّ -صلى الله عليه وسلم- كاَنَ إذَِا افْتتَحََ الصَّلةََ قَالَ
سُبحَْانكََ اللَّهُمَّ …
Al-Hakim mengatakan: Hadîts
ini memiliki ‘illah, karena al-Mundzir
sebenarnya
mendapatkan hadîts ini dari
Abdul Aziz ibnu al-Majisyun dari Abdullah ibnu al-Fadhl dari al-A‘raj dari ‘Ubaidillah
ibnu Abi Rafi‘ dari Ali.
j.
Suatu hadîts
di satu sisi diriwayatkan secara marfu‘ dan di sisi lain diriwayatkan
secara mauquf. Misalnya hadîts
pengulangan shalat karena tertawa tanpa perlu berwudhu lagi. Hadîts ini diriwayatkan oleh Abu
Farwah ar-Rahawiy dari ayahnya dari kakeknya dari al-A‘masy dari Abu Sufyan
dari Jabir dari Rasulullah saw. secara marfu‘. Sementara Waki‘
meriwayatkannya secara mauquf (berhenti pada Jabir).
Perlu diingat, bahwa kesepuluh fenomena yang dipaparkan al-Hakim di
atas hanyalah sebagai sampel, dan masih banyak lagi fenomena hadîts ma‘lûl yang hanya diketahui oleh kalangan ahli hadîts yang benar-benar pakar
dibidangnya.
Adapun langkah-langkah yang
ditempuh kalangan ahli hadîts dalam mengetahui ‘illat hadits
adalah:
1) Menghimpun seluruh jalur
periwayatan.
2) Meneliti keragamaan para perawi dan
menimbang-nimbang tingkat ke-dhabit-an dan akurasi mereka. Dari sini
bisa diketahui kesendirian perawi dalam meriwayatkan suatu hadîts dan perbedaannya dengan versi perawi lain yang lebih hâfizh
dan lebih dhabit, atau adanya qarinah (unsur) lain.
3) Baru kemudian menjatuhkan penilaian
berdasarkan tiga indikator di atas bahwa hadîts yang
diteliti adalah hadis ma‘lûl. Jika peneliti ragu-ragu,
maka
ia bisa mengambil sikap abstain (tidak memberikan vonis atas shahîh atau tidaknya hadîts tersebut), meskipun zhahir-nya bersih dari ‘illah.[18]
.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
‘"Illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang terdapat pada hadîts yang telah ditetapkan ke-shahîh-annya.
Sebab itu ia menjadi salah satu syarat utama ke-shahîh-an hadîts dan bukan sebatas variabel
pelengkap atau kaidah minor.
Sedangkan dari sisi fungsi 'illat
merupakan pisau bedah lanjutan al-jarh wa ta’dil untuk mengkritisi hadîts–hadîts yang sudah dinyatakan ke- shahîh-annya
secara zhahir namun kemudian terdapat kecacatan yang tersembuyi karena
sebab-sebab tertentu, tidak terkecuali hadîts
- hadîts shahîh
versi Bukhari dan Muslim.
Di sisi lain, permasalahan ‘illat
hadîts juga memberikan arti
penting dalam kehidupan beragama bahwa, tidak ada manusia yang memiliki
kesempurnaan, bisa jadi secara lahiriahnya adalah baik, tetapi mengandung
kecacatan yang tidak tampak. Tidak terkecuali para periwayat yang sangat
menjaga kwalitas dirinya dalam meriwayatkan hadîts.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-'Asqalaniy, Ibnu Hajr, al-Nukat 'ala Muqaddimah Ibn al-Shalah,
Riyadh: Adhwa al-
Salaf, 1998
Al- Thahhan Mahmud, Taysir
Mushthalah al-Hadits, Surabaya: Haramain, 1989
Al-Dimasyqiy, Thahir ibnu Shalih ibnu Ahmad al-Jaza’iriy, Taujih al-Nazhar ila
Ushul al-Atsar, Madinah: Al-Maktabah
al-‘Ilmiyyah, t.t
Al-Mulakhatir, Khalil
Ibrahim al-Hadits al-Mu'allal, Jeddah: Daar al-Wafa', 1986
Al-Naisaburiy. Al-Hakim, Ma‘rifah Ulum al-Hadits, Cairo: Maktabah al-
Mutanabbi, t.t.
Al-Qadhiy Abu
Thalib, 'Illal al-Turmudzy al-Kabir, Beirut:'Alam al-Kutub,t.th
Al-Qasimiy , Muhammad
Jamal al-Din, Qawaid al-Tahdits min Funun Mushtalah
al-Hadits, T.t.t.: Isa al-Haji, t.t..
A-Madiny, Ali bin
Abdullah, 'Ilal al-Hadits wa Ma'rifah al-Rijal, Halb: Daar al-
Nau'iy, 1980
Hasyim, Ahmad Umar, Qawa‘id Ushul al-Hadits, Beirut: Daar
al-Fikr, t.t.
[1] Mahmud al- Thahan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Surabaya:
Haramain, 1989), h. 99
[2] Khalil Ibrahim al-Mulakhatir, al-Hadits al-Mu'allal,
(Jeddah: Daar al-Wafa', 1986), h. 16
[3] Ibid
[4] Abu Thalib al-Qadhiy, 'Illal al-Turmudzy al-Kabir,(Beirut:'Alam
al-Kutub,t.th), h. 8
[5] Mahmud Thahan, Op. Cit., h. 100
[6] Ma‘lul ( المعلول ); Adalah isim maf''ul dari akar kata “ عَلَّ يعَِلُّ ”. Istilah ini terkenal di kalangan ahli hadis
dan dipakai antara lain oleh al-Bukhariy, al-Tirmidziy, al-Daruquthniy, Ibnu
‘Addiy, al-Hakim, dan Abu Ya‘la
al-Khaliliy.(Lihat Hamzah ‘Abdullah al-Malibariy., al-Hadis al- Ma’lul:
Qawa’id wa Dhawabith), Beirut: Dar Ibnu Hazm dan Makkah: Al-Maktabah
al-Makkiyyah, 1996), h. 9-10
[7] Khalil Ibrahim al-Mulakhatir, Op. Cit., h. 17
[8] Mahmud al- Thahan, Op. Cit., h. 100
[9] Ibid
[11] Thahir ibnu Shalih ibnu Ahmad al-Jaza’iriy
ad-Dimasyqiy, Taujih al-Nazhar
ila Ushul al-Atsar, (Madinah: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.) h.
264. Lihat juga Ibnu Hajr al-'Asqalaniy, al-Nukat 'ala Muqaddimah Ibn
al-Shalah, (Riyadh: Adhwa al-Salaf, 1998), h. 207.
[13] Khalil Ibrahim al-Mulakhatir, Op. Cit., h. 17, Lih.juga Ali
bin Abdullah al-Madiny, 'Ilal al-Hadits wa Ma'rifah al-Rijal, (Halb: Daar
al-Nau'iy, 1980), h. 10
[14] Umar Hasyim, Op. Cit., , h. 133
[15] Perawi meriwayatkan hadis dari orang yang
sebenarnya tidak ia dengar langsung riwayatnya, namun ia berlagak seolah-olah
mendengar hadis tersebut darinya, dengan redaksi yang mengandung unsur sima’
dan lainnya, misalnya: “Qala” atau “‘an” untuk memberikan kesan
bahwa ia mendengarnya langsung dari orang tersebut. Lihat Al-Thahhan, Taisir,
h.80
[16] Redaksi lengkap hadits tersebut adalah :
ْ عنَ
أنَسَِ بنِْ مَالكٍِ قَالَ صَليَّتُْ خَلفَْ النبَّيِِّ صَلَّى اللهَُّ عَلَيهِْ وَسَلمََّ وَأبَيِ بكَرٍْ وَعُمَرَ وَعُثمَْا نَََ فَكاَنوُا ي سَََْتفَْتحُِونَ بََِ الْحَ مََْد لِل هَََِّ رَ بََِّ الْعَالَمِي نَََ لَ يذَْكرُُونَ بسِْم اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم فِي أوََّلِ قِرَاءَةٍ وَلَ فِي آخِرِهَا
“Dari Anas ibnu Malik, ia berkata: Aku
shalat di belakang Nabi saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman; dan mereka langsung
mengawali bacaan dengan “Alhamdulillahi rabbi al-‘alamin” tanpa membaca “Bismillahirrahmanirrahim”
di awal bacaan maupun di akhirnya.” (Shahih
Muslim, Kitab al Shalah, Bab Hujjah Man Qa la La Yajhar bi
al- Basmalah, hadis nomor 606).
[17] Ahmad Umar Hasyim, Op. Cit., h. 134. Al-Hakim, Ma‘rifah Ulum al-Hadits, (Cairo:
Maktabah al-Mutanabbi, t.t.),,
hlm. 113-119. Lihat juga Khalil Ibrahim, Op. Cit.,h. 25-32
[18] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawaid al-Tahdits min
Funun Mushtalah al-Hadits( T.t.t.: Isa al-Haji, t.t..), h.
131.
Langganan:
Postingan (Atom)