Rabu, 26 Desember 2012

Wanita Salehah

Lembutmu Tak Berarti
kau mudah dijual beli
kau mampu menyaingi lelaki
dalam berbakti

lembutmu bukan hiasan 
bukan jua kebanggaan
tapi kau sayap kiri
pada suami yang sejati

di balik bersih wajahmu
di balik tabir dirimu
ada rahasia agung
tersembunyi dalam diri
itulah sekeping hati
yang takut pada ilahi


BEM MUMTAZ

Oase Ditengah Jazirah

Gajah-gajah Abrohahkah yang kembali
menjeritkan kematian itu?
di Jazirah Sebuah Kota Tua Makkah
tangis kelahiran itupun nyaring kependengaran
azan semesta kembali membuka dunia
lalu beribu-ribu shalawat para malaikat
menyingkap kelambu langit yang pekat
lalu burung-burung ababil berhamburan
menyemburkan kerikil, adalah bara di kepala mereka
tapi, bayi akhir nabi mengucap doa semesta

Gajah Abrahahkah yang kembali mengepung jazirah itu
mata mereka nanar mengintai darah2 dan dinar
lalu merekapun runtuh hanya buat debu-debu
langit tunduk, pohon-pohon kurma merunduk
kafilah ontapun tertunduk......

gajah Abrahahkah yang menandukk??????????

Oleh : BEM Mumtaz   Banaat

Selasa, 25 Desember 2012

Jilbab Bukan Topeng

asumsi bahwa orang yang pakai jilbab harus lembut, halus tutur katanya, feminim, tidak boleh begini, begitu adalah pemahaman yang memojokan jilbaber itu sendiri.  jilbab bukan topeng sandiwara yang mengharuskan pemakainya tampil menjadi orang lain.  merupakan tindakan konyol memakai jilbab dengan simbol dan karakter palsu. Jilbab adalah pakaian menutup aurat secara sempurna sehingga tidak tubuh secara sempurna terlindung. jilbab bukan lambang wanita lemah, melainkan pakaian muslimah secara umum. semua wanita muslimah disunnahkan memakai jilbab tanpa melihat profesi dan pekerjaannya.

Nusaibah binti ka'ab (jago karate) sebagai pendekar penjaga rasulullah adalah gadis berjilbab, Aisyah gadis lembut, feminim adalah gadis berjilbab, khadijah seorang tokoh perempuan adalah perempuan berjilbab.

wanita jilbab dalam pandangan kaum adam juga beragam, Jilbab memiliki karkater sendiri yaitu karakter kepribadian sempurna menutup aurat atas perintah Allah dan rasulnnya, kepribadian Berjilbab adalah kepribadian Allah dan rasul-Nya., maka jangan artikan jilbab dari kepribadian individu yang memakainya,

warna-warni jilbab meruapakan warna yang dicelupkan Allah untuk kaum hawa dengan tujuan untuk perlindungan, keselamatan, kenyamanan, dan kemuliaan mereka sendiri.

semoga bermanfaat !!!!!!!!
Oleh : BEM Banat Ma'had Az Zubair


Senin, 10 Desember 2012

‘ILLAT DALAM HADÎTS



‘ILLAT DALAM HADÎTS
Oleh : Afdila Nisa, Lc (Wakil Mudir Banat)

A.    PENDAHULUAN
Dalam kaidah ke-shahîh-an hadîts, salah satu syarat penting yang sering dipergunakan dalam menentukan validitas hadîts adalah ‘adam al-‘illat atau ghair al-mu’allal (tidak cacat). Bahwa sebuah hadîts tidak dapat dianggap shahîh meskipun telah dipastikan bersambung sanadnya dengan periwayat yang tsiqqah hingga dapat dijamin terbebas dari ‘illat (cacat).
Hanya saja, syarat ghair al-mu‘allal sebagai salah satu kaidah kesahihan hadîts mengundang banyak permasalahan yang perlu ditinjau, Apakah 'illat itu? Bagaimana posisi dan  pengaruhnya terhadap keshahihan hadîts? Dan sejauh mana perkembangan 'illat sebagai salah satu disiplin ilmu? Maka melalui tulisan ini penulis mencoba untuk mengkaji tentang ‘illat dan mengeksplorasi permasalahan-permasalahan yang terkait.

B.     PEMBAHASAN
1.      Defenisi ‘Illat
                  Kata ‘illat/'illah (العلّة) adalah bentuk masdar dari  kata ‘alla-ya’illu (علّ-يعلّ), secara etimologi berarti sakit, peristiwa yang melenakan seseorang dari kepentingannya.[1]
                  Adapun secara terminologi, ulama hadîts mendefenisikan ‘illat dengan beberapa pengertian:
a.       Menurut Ibnu Shalah:
عبارة عن أسباب خفية غامضة قاضحة في الحديث[2]
            (Ungkapan untuk sebab-sebab tersembunyi (laten) yang menciderai hadîts).
b.      Menurut al-Nawawiy:
عبارة عن أسباب غامض مع أن الظاهر السلامة منه[3]
            (Sebab tersembunyi yang menodai hadîts walaupun secara lahiriah tampak terhindar dari cacat)
c.       Menurut Imam Turmudziy:
أسباب خفية تقع في إسناد ومتن ظاهرهما الصحة [4]                          
            (Sebab (cacat) yang tersembunyi pada sanad dan matan hadîts, padahal secara zhahir sanad dan matan itu terlihat shahih
d.      Istilah ‘illat juga kadang digunakan untuk menyebut kebohongan perawi, kelalaiannya, keburukan hapalannya, dan sebab-sebab minor lain yang kentara.[5]  
Dalam hal ini, penulis lebih cenderung pada pendapat ahli hadîts yang mendefinisikan hadis ma‘lul[6] (mempunyai 'illat) sebagai hadîts yang secara kasat mata bebas dari ‘illat, namun setelah diteliti ternyata ditemukan cacat yang    menciderai ke- shahîh-annya (al-qadih).
Terkadang ‘illat diartikan secara umum dan luas tidak hanya karena sebab yang tersembunyi, tetapi juga karena sebab yang tidak tersembunyi (nyata) . ‘Illat dalam artian ini adalah segala bentuk kecacatan yang menimpa suatu hadîts apakah karena kedustaan perawi, atau ghaflah, ataupun su’u al-hifz. Imam Tirmizi bahkan menganggap nasakh sebagai ‘illat.[7]. Berkaitan dengan hal ini, Mahmud al-Thahhan menyebut ‘illat karena sebab tersembunyi dengan istilah ‘illat terminologis, sedangkan yang tidak tersembunyi disebutnya sebagai ‘illat non-terminologis.[8]
Untuk membedakan ‘illat terminologis dari ‘illat non-terminologis yang disebutkan ulama, harus memenuhi dua syarat ; pertama kecacatan tersebut tidak tampak dan tersembunyi. Kedua, merusak keshahihan hadîts. Jika salah satu dari keduanya tidak terpenuhi, seperti ‘illat itu nyata atau tidak merusak, maka tidak dikatakan ‘illat.[9]
                  Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ‘illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang terdapat pada hadits yang telah ditetapkan ke- shahîh-annya. 'Illat ini digunakan  untuk membedah hadîts- hadîts yang sudah dinyatakan shahih, sedangkan hadits yang statusnya sudah jelas sebagai hadîts dhai'f, tidak dikaji lagi. Tujuannya adalah menyingkap kemungkinan adanya cacat yang tersembunyi di dalamnya, sekalipun tampilan luarnya terlihat - shahîh Jika demikian halnya, bisa jadi ada sebuah hadîts sudah dinyatakan ke- shahîh-annya berdasarkan syarat-syarat global (zhahir) ke-shahîh-an hadîts, tetapi karena ditemukan kecacatan yang tersembunyi di dalamnya, maka label shahîh pada hadîts tersebut menjadi gugur.

2.      Perkembangan Teori 'Illat al Hadits
Sebagai sebuah istilah, ‘illat tentu saja memiliki awal mula, namun tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakannya,  meskipun sudah dikenal luas di kalangan ahli hadîts sejak masa Syu’bah, Yahya ibnu Sa’id al-Qattan (w. 198 H) dan ‘Abdurrahman ibnu Mahdiy. Hal ini bisa dipahami mengingat pengetahuan tentang teori ini hanya dikuasai oleh segilintir kalangan yang memiliki pemahaman yang brilian, hapalan yang kuat, dan wawasan yang luas mengenai kondisi-kondisi sanad, matan, dan status para perawi.[10]
Identifikasi ‘illat hadîts membutuhkan penelaahan yang luas, memori ingatan yang bagus, dan pemahaman yang jelimet karena ‘illat merupakan virus laten (sabab ghamid}) yang bersifat samar-samar, sekalipun bagi kalangan yang intens mengkaji disiplin ilmu-ilmu hadîts. Sehingga muncul satu disipin varian dari 'ulum al-hadits yang disebut "Ilmu ‘illal al hadist"; yaitu ilmu yang membahas mengenai sebab-sebab samar dari implikasinya dalam menodai ke-shahîh-an hadîts.
Ibnu Hajr mengungkapkan bahwa 'illat merupakan jenis disiplin ilmu hadis yang paling kabur (samar) dan paling jelimet, dan tidak ada yang mengaksesnya kecuali orang yang dianugerahi oleh Allah pemahaman yang tajam, kapabilitas yang luas, dan pengetahuan yang sempurna mengenai tingkatan-tingkatan perawi dan kompetensi yang mumpuni mengenai sanad-sanad dan matan-matan.[11]
Adapun karya tulis (kitab) yang paling monumental dalam disiplin ini adalah:[12]
- "Kitab al-‘Ilal" karya 'Ali ibnu al-Madiniy, syaikh atau guru Imam al-Bukhariy, disusul kemudian oleh kitab dengan judul serupa karya al- Khallal.
- “‘Ilal al-Hadits” karya Ibnu Abi Hatim.
- Konon, Ibnu Hanbal memiliki sebuah kitab mengenai 'illat yang masih berupa manuskrip dengan judul “Al-‘Ilal wa Ma‘rifah ar-Rijal”.
- “Al-‘Ilal al-Kubra” dan “al-‘Ilal al-Shaghir” karya al-Tirmidziy.
- “Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadits al-Nabawiyyah” karya Al-
Daruquthniy. Ini merupakan kitab ‘illal yang paling lengkap dan luas pembahasannya, yang dibukukan oleh muridnya, al-Hafiz Abu Bakr al-Barqaniy.
- Sejumlah kitab ‘illat juga dinisbatkan masing-masing pada al-Bukhariy, Imam Muslim, Ibnu Abi Syaibah, al-Sajiy, Ibnu al-Jauzi, dan Ibnu Hajar.


3.      Letak  'Illat Dalam Hadîts dan Pengaruhnya
          ‘Illat hadît dapat terjadi pada sanad, pada matan, dan pada sanad dan matan sekaligus, tetapi mayoritas ‘illat hadîts terjadi pada sanad . [13]
Klasifikasi 'illat menurut tempat identifikasi dan pengaruhnya, adalah sebagai berikut:[14]
Pertama, ‘illah yang ada dalam sanad dan tidak berefek sama sekali, baik terhadap sanad maupun matan. Contoh, hadîts yang diriwayatkan seorang mudallis[15] dengan model perwayatan ‘an‘anah (menggunakan kata ‘an dalamperiwayatannya). Hadîts seperti ini wajib ditangguhkan status ke-maqbul-annya; dan jika ditemukan riwayat yang sama dari jalur lain dengan menggunakan model periwayatan sima‘ (menggunakan kata sami‘tu dalam periwayatannya), maka semakin jelaslah bahwa ‘illah yang ada dalam hadîts pertama bersifat tidak menciderai.
Kedua, ‘illah yang ada dalam sanad dan menciderai sanad saja, tanpa menciderai matannya. Contoh, hadîts yang diriwayatkan oleh Ya’la ibnu ‘Ubaid (dari al-Tanafisiy dari al-Tsauriy dari ‘Amru ibnu Dinar dari Ibnu ‘Umar dari Rasulullah saw.; beliau bersabda: ْ بيَعَِّانِ باِلْخِياَرِ ” (Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar). Di sini, Ya’la keliru dalam menyebut ‘Amru ibnu Dinar, sebab yang tepat adalah ‘Abdullah ibnu Dinar. Ralat ini merujuk pada riwayat yang disinyalir oleh para imam yang merupakan sahabat/murid as-Tsauriy, seperti al-Fadhl ibnu Dukain, Muhammad ibnu Yusuf al- Firyani, dan lain-lain.
Ketiga, ‘illah yang ada dalam sanad dan menciderai sanad sekaligus matannya. Contoh, hal yang menimpa Abu Usamah Hammad ibnu Usamah al-Kufi, salah seorang perawi tsiqah dari ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir –salah seorang perawi tsiqah dari Syam-. Konon ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir datang ke Kufah dan menyampaikan hadîts di sana, namun Abu Usamah tidak mendengar hadîts ini langsung dari ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir. Beberapa waktu kemudian, datang ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Tamim – salah seorang perawi dha‘if dari Syam juga. Abu Usamah mendengarkan hadîts darinya, lalu ia bertanya tentang namanya, dan dijawab: ‘Abdurrahman ibnu Yazid (saja tanpa menyebutkan nama belakangnya lagi). Abu Usamah mengira bahwa ia adalah ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir, maka ia menyatakan diri mendapat hadîts darinya dan menisbatkannya apa yang disampaikan ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Tamim pada ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir. Sehingga terdapat banyak kemunkaran pada riwayat Usamah dari Ibnu Jabir, padahal keduanya tsiqqah. Hal seperti ini hanya bisa diketahui oleh kalangan kritikus hadîts yang kemudian melakukan pemilahan dan menjelaskannya, misalnya al-Bukhariy, Ibnu Abi Hatim, dan lainnya.
Keempat, ‘illah yang ada dalam matan dan tidak menciderai matan
maupun sanadnya. Contoh, perbedaan redaksi dalam hadîts-hadîts Shahih al-Bukhariy dan Shahih Muslim. Jika semuanya bisa dikembalikan pada satu makna (pengertian), maka unsur pencideraannya menjadi hilang. Misalnya, riwayat Umar yang bercerita bahwa pada masa Jahiliyyah dulu ia pernah bernazar untuk melakukan i’tikaf selama sehari di Masjidil Haram, maka dalam satu versi Nabi saw. bersabda: “Pergi dan i’tikaflah sehari!” Namun dalam versi lain, Nabi saw. bersabda, “Pergi dan i’tikaflah semalam!” Perbedaan redaksi matan “sehari” dan “semalam” menurut Imam an-Nawawi tidak sampai menciderai matan maupun sanad, karena barangkali Umar bertanya pada Nabi tentang i’tikaf sehari dan ia ditanya tentang i’tikaf semalam.
Kelima, ‘illah yang ada dalam matan dan menciderai matan maupun sanadnya. Contoh, hadîts yang diriwayatkan bi al-ma‘na oleh seorang perawi, namun spekulasinya salah, sebab yang dimaksud oleh lafal hadîts bukan seperti yang ia tulis. Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kecacatan matan maupun sanad riwayat tersebut. Misalnya, hadîts dari Jarir ibnu Yazid dari Anas ibnu Malik,dan Ibnu Abi Laila dari Abdul Karim dari Anas ibnu Malik bahwa Rasulullah saw. berwudhu dengan menggunakan dua liter air. Ini adalah riwayat bi al-ma‘na yang salah dan dha’if sanadnya, sebab yang shahîh dari Anas adalah Rasulullah saw. berwudhu dengan satu mud.[16]
Keenam, ‘illah yang ada dalam matan dan hanya menciderai matannya minus sanadnya. Contoh, hadîts yang diriwayatkan tunggal oleh Muslim dari narasi Anas dengan redaksi lugas yang menafikan
Bismillahirrahmanirrahim”.
Para kritikus hadîts menilai hadîts dengan redaksi tersebut ma‘lul mengingat mayoritas ulama’ menyatakan keabsahan membaca basmalah di awal surah al-Fatihah. Menurut mereka, Muslim atau salah seorang perawi dalam sanadnya memahami hadîts yang sudah menjadi kesepakatan bersama al- Bukhariy dan Muslim:
                      فَكاَنوُا يسَْتفَْتحُِونَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
  ini dengan pemahaman bahwa mereka tidak membaca basmalah, lalu ia
  meriwayatkannya menurut pemahamannya, dan salah, sebab arti      
  sebenarnya  hadîts tersebut adalah bahwa surat yang mereka baca 
  pertama adalah surah al-Fatihah dan tidak ada hubungannya dengan  
  dibaca tidaknya basmalah.
Dari paparan di atas, bisa kita catat satu kebiasaan penting yang  
   berlaku luas di kalangan ahli hadîts, bahwa mereka kadang menta‘lil
   hadîts berdasarkan ‘illah yang tidak menciderai (‘illah ghair qadihah),
   sehingga sebagian menyangka bahwa semua hadîts yang dinyatakan  
   ma‘lul oleh kalangan ahli hadîts pasti kwalitasnya dha‘if, padahal 
   kenyataannya tidak mesti demikian.

4.      Fenomena 'Illat Dalam Hadîts
                        Al-Hâkim al-Naisâburiy  menginventarisir fenomena-fenomena
hadîts yang terinfeksi ‘illah ke dalam sepuluh kategori dalam kitabnya, Ma'rifah 'Ulum al- Hadîts, sebagai berikut:[17]
a.        Sanad hadîts kelihatan shahîh, namun di dalamnnya ada orang yang
diketahui tidak pernah mendengar langsung dari orang yang ia riwayatkan  hadîts -nya. Contoh: Hadîts doa kaffarah al-majlis:
حَدَّثنَاَ أبَوُ عُبيَدَْةَ بنُْ أبَيِ السَّفَرِ الْكوُفِيُّ وَاسْمُهُ أحَْمَدُ بنُْ عَبدِْ اللَّهِ الْهَمْدَانيُِّ حَدَّثنَاَ الْحَجَّاجُ بنُْ
 مُحَمَّدٍ قَالَ قَالَ ابنُْ جُرَيجٍْ أخَْبرََنيِ مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أبَيِهِ عَنْ
أبَيِ هُرَيرَْةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ  اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيهِْ وَسَلَّمَ مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكثَرَُ فِيهِ لَغَطُهُ
 فَقَالَ قَبلَْ أنَْ يقَُومَ مِنْ مَجْلِسِه  ذَلِكَ سُبحَْانكََ اللَّهُمَّ وَبحَِمْدِكَ أشَْهَدُ أنَْ لَ إلَِهَ إلَِّ أنَتَْ أسَْتغَْفِرُكَ
 وَأتَوُبُ إلَِيكَْ إلَِّ غُفِرَ لَهُ مَا كاَنَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِك
Di dalam rangkaian sanad hadîts ini, Musa ibnu ‘Uqbah seolah-olah    mendapat hadîts langsung dari Suhail ibnu Abi Shalih, meski tanp  menyebut  “Sami‘tu” atau “haddatsana” dan sejenisnya, padahal ia tidak  pernah mendengarkannya langsung dari Suhail.
b.       Hadîts diriwayatkan secara mursal dari jalur para perawi yang tsiqah dan hafizh, namun disanadkan dengan gaya yang kelihatannya shahîh.
Contoh, hadîts Qubaisah ibnu ‘Uqbah dari Sufyan dari Khalid al-Hazza’ dan ‘Ashim dari Abu Qilabah secara marfu’:
أرَْحَمُ أمَُّتيِ بأِمَُّتيِ أبَوُ بكَرٍْ وَأشََدُّهُمْ فِي دِينِ اللَّهِ عُمَرُ
Andaikata sanad hadîts ini shahîh, tentu ia akan dimasukkan dalam Shahih al-Bukhariy atau Muslim. Namun nyatanya tidak, karena Khalid al-Hazza meriwayatkannya dari Abu Qilabah secara mursal.
c.        Hadîts diriwayatkan secara mahfuz  dari seorang sahabat, namun kemudian diriwayatkan dari selain shahabat-yang lebih rendah tingkat ke-tsiqah-annya, berdasarkan perbedaan domisili para perawinya, misalnya riwayat orang-orang Madinah lebih unggul daripada riwayat orang-orang Kufah. Contoh hadîts Musa  ibnu ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari ayahnya secara marfu’:
أنََّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِْ وَسَلَّمَ قَالَ إنِيِّ لَسَْتغَْفِراللَّهَ وَأتَوُْبُ إلَِيهِْ فِي الْيوَْم مِائةََ مَرَّةٍ
Hadits ini ma’lûl (terkena 'illah), karena ada versi lain yang diriwayatkan secara mahfuzh dari jalur Abu Burdah dari al-Agharr al-Muzani al-Madani.
d.      Suatu hadîts sudah mahfuz dari seorang sahabat, namun kemudian diriwayatkan dari seorang tabi’i yang memberikan pernyataan lugas dan mengesankan kesahihan riwayatnya, padahal hadîts tersebut tidak dikenal dari jalurnya. Contoh, hadîts Zuhair ibnu Muhammad dari ‘Usman ibnu Sulaiman dari ayahnya, bahwa ia mendengar Rasulullah saw. membaca surah al-Thur ketika shalat maghrib.
Hadîts ini ma‘lul, karena ayah ‘Utsman tidak pernah mendengar maupun melihat langsung Rasulullah Saw., akan tetapi ia meriwayatkannya dari Nafi‘ ibnu Jubair dari Muth‘im dari ayahnya.
e.        Suatu hadîts diriwayatkan dengan model “‘an‘anah” namun ada satu perawi yang digugurkan. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat hadîts tersebut dari jalur lain yang mahfuzh. Contoh, hadîts Yunus dari Syihab dari ‘Ali ibnu al-Husain dari beberapa orang Anshar bahwa mereka pernah bersama Rasulullah saw., lalu beliau menunjuk sebuah bintang, dan bintang tersebut langsung bersinar terang. Hadîts ini ma‘lul karena Yunus meringkas sanadnya, sebab hadîts tersebut sebenarnya dari Ibnu ‘Abbas: “Saya diceritakan oleh beberapa orang…” Versi terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Uyainah, Syu’aib dan lain-lain dari al-Zuhairiy.
f.        Adanya perbedaan versi dalam menyebut seseorang pada rangkaian sanad, sementara dalam versi lain ia sudah diriwayatkan secara mahfuzh. Contoh, hadîts Ali ibnu al-Husain ibnu al-Waqid dari ayahnya dari ‘Abdullah ibnu Buraidah dari ayahnya dari ‘Umar, bahwasanya ia berkata… (dan seterusnya). Hadis ini ma‘lul, karena adanya riwayat mahfuzh yang bersanad dari ‘Ali ibnu Khasyram: Kami diberi hadîts oleh Ali ibnu al-Husain ibnu al-Waqid: Aku mendapat informasi bahwa Umar berkata…(dan seterusnya).
g.       Adanya perbedaan versi dalam menyebut nama guru atau meng-anonimkannya. Contoh, hadîts:
الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كرَِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئيِم
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Syihab dari al-Tsauriy dari Hajjaj ibnu  Farafisah dari Yahya ibnu Abi Katsir dari Abu  Salamah dar Abu Hurairah secara marfu‘. Dalam versi lain, Muhammad ibnu Katsir meriwayatkannya dengan sanad berbeda, yakni dengan menganonimkan Yahya ibnu Abi Katsir dan menyebutnya dengan“seorang laki-laki”. Hadîts dengan riwayat Muhammad ibnu Katsir ini dengan demikian ma‘lul.
h.       Perawi menjumpai seseorang dan mendengarkan hadîts darinya,     
 namun ia   tidak mendengar beberapa hadîts tertentu darinya. Jika ia  
       mengklaim meriwayatkan hadîts - hadîts yang tidak didengarnya
 tersebut tanpa perantara orang lain, maka hadîts tersebut ma‘lul.  
 Contoh hadits:
أخَْبرََناَ يزَِيدُ بنُْ هَارُونَ أخَْبرََناَ هِشَامٌ الدَّسْتوََائىُِّ عَنْ يحَْيىَ بنِْ أبَىِ كثَيِرٍ عَنْ أنَسَِ بنِْ مَالِكٍ أنََّ
 النبَّىَِّ صلى الله عليه وسلم- كاَنَ إذَِا أفَْطَرَ عِندَْ أنُاَسٍ قَالَ: أفَْطَرَ عِندَْكمُُ الصَّائمُِونَ، وَأكَلََ
 طَعَامَكمُُ البَرَْارُ  وَتنَزََّلَتْ عَلَيكْمُُ الْمَلئَكِةَُ
Hadîts ini dinyatakan shahîh sanadnya oleh al-Darimiy, namun jika diteliti  lebih lanjut, Yahya ibnu Abi Katsir ternyata tidak pernah mendengar  langsung hadîts ini dari Anas ibnu Malik, meskipun ia pernah berinteraksi  dengannya. Hal ini dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dari Hisyam dari Yahya, ia berkata: “Huddistu ‘an Anas” (Aku   diberi hadîts dari Anas), dan seterusnya.
i.         Suatu hadîts sudah memiliki jalur periwayatan yang ma'ruf, lalu seorang perawi dalam sanad tersebut meriwayatkannya dari jalur lain, sehingga ia terjebak dalam waham. Misalnya, hadîts al-Munzir ibnu Abdullah al- Hizamiy dari Abdul Aziz ibnu al-Majisyun dari Abdullah ibnu Dinar dari Ibnu Umar:
أنََّ النبَّىَِّ -صلى الله عليه وسلم- كاَنَ إذَِا افْتتَحََ الصَّلةََ قَالَ
سُبحَْانكََ اللَّهُمَّ
Al-Hakim mengatakan: Hadîts ini memiliki ‘illah, karena al-Mundzir  
sebenarnya mendapatkan hadîts ini dari Abdul Aziz ibnu al-Majisyun dari Abdullah ibnu al-Fadhl dari al-A‘raj dari ‘Ubaidillah ibnu Abi Rafi‘ dari Ali.
j.         Suatu hadîts di satu sisi diriwayatkan secara marfu‘ dan di sisi lain diriwayatkan secara mauquf. Misalnya hadîts pengulangan shalat karena tertawa tanpa perlu berwudhu lagi. Hadîts ini diriwayatkan oleh Abu Farwah ar-Rahawiy dari ayahnya dari kakeknya dari al-A‘masy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Rasulullah saw. secara marfu‘. Sementara Waki‘ meriwayatkannya secara mauquf (berhenti pada Jabir).
Perlu diingat, bahwa kesepuluh fenomena yang dipaparkan al-Hakim di atas hanyalah sebagai sampel, dan masih banyak lagi fenomena hadîts ma‘lûl yang hanya diketahui oleh kalangan ahli hadîts yang benar-benar pakar dibidangnya.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh kalangan ahli hadîts dalam mengetahui ‘illat hadits adalah:
1) Menghimpun seluruh jalur periwayatan.
2) Meneliti keragamaan para perawi dan menimbang-nimbang tingkat ke-dhabit-an dan akurasi mereka. Dari sini bisa diketahui kesendirian perawi dalam meriwayatkan suatu hadîts dan perbedaannya dengan versi perawi lain yang lebih hâfizh dan lebih dhabit, atau adanya qarinah (unsur) lain.
3) Baru kemudian menjatuhkan penilaian berdasarkan tiga indikator di atas bahwa hadîts yang diteliti adalah hadis ma‘lûl. Jika peneliti ragu-ragu,   
 maka ia bisa mengambil sikap abstain (tidak memberikan vonis atas shahîh atau  tidaknya hadîts tersebut), meskipun zhahir-nya bersih dari ‘illah.[18]
.
C.    PENUTUP
Kesimpulan
‘"Illat adalah kecacatan terselubung dan tidak nyata yang terdapat pada hadîts yang telah ditetapkan ke-shahîh-annya. Sebab itu ia menjadi salah satu syarat utama ke-shahîh-an hadîts dan bukan sebatas variabel pelengkap atau kaidah minor.
Sedangkan dari sisi fungsi 'illat merupakan pisau bedah lanjutan al-jarh wa ta’dil untuk mengkritisi hadîtshadîts yang sudah dinyatakan ke- shahîh-annya secara zhahir namun kemudian terdapat kecacatan yang tersembuyi karena sebab-sebab tertentu, tidak terkecuali hadîts - hadîts shahîh versi Bukhari dan Muslim.
Di sisi lain, permasalahan ‘illat hadîts juga memberikan arti penting dalam kehidupan beragama bahwa, tidak ada manusia yang memiliki kesempurnaan, bisa jadi secara lahiriahnya adalah baik, tetapi mengandung kecacatan yang tidak tampak. Tidak terkecuali para periwayat yang sangat menjaga kwalitas dirinya dalam meriwayatkan hadîts.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-'Asqalaniy, Ibnu Hajr, al-Nukat 'ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, Riyadh: Adhwa al-
Salaf, 1998
Al- Thahhan Mahmud, Taysir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: Haramain, 1989
Al-Dimasyqiy, Thahir ibnu Shalih ibnu Ahmad al-Jaza’iriy, Taujih  al-Nazhar ila
Ushul al-Atsar, Madinah: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t
Al-Mulakhatir, Khalil Ibrahim al-Hadits al-Mu'allal, Jeddah: Daar al-Wafa', 1986
Al-Naisaburiy.  Al-Hakim, Ma‘rifah Ulum al-Hadits, Cairo: Maktabah al-
Mutanabbi, t.t.
Al-Qadhiy  Abu Thalib, 'Illal al-Turmudzy al-Kabir, Beirut:'Alam al-Kutub,t.th
Al-Qasimiy , Muhammad Jamal al-Din, Qawaid al-Tahdits min Funun Mushtalah
al-Hadits, T.t.t.: Isa al-Haji, t.t..
A-Madiny, Ali bin Abdullah, 'Ilal al-Hadits wa Ma'rifah al-Rijal, Halb: Daar al-
Nau'iy, 1980
Hasyim, Ahmad Umar, Qawa‘id Ushul al-Hadits, Beirut: Daar al-Fikr, t.t.


[1] Mahmud al- Thahan, Taysir Mushthalah al-Hadits, (Surabaya: Haramain, 1989), h. 99
[2] Khalil Ibrahim al-Mulakhatir, al-Hadits al-Mu'allal, (Jeddah: Daar al-Wafa', 1986), h. 16
[3] Ibid
[4] Abu Thalib al-Qadhiy, 'Illal al-Turmudzy al-Kabir,(Beirut:'Alam al-Kutub,t.th), h. 8
[5] Mahmud Thahan, Op. Cit., h. 100
[6] Ma‘lul ( المعلول ); Adalah isim maf''ul dari akar kata “ عَلَّ يعَِلُّ ”. Istilah ini terkenal di kalangan ahli hadis dan dipakai antara lain oleh al-Bukhariy, al-Tirmidziy, al-Daruquthniy, Ibnu ‘Addiy, al-Hakim, dan Abu  Ya‘la al-Khaliliy.(Lihat Hamzah ‘Abdullah al-Malibariy., al-Hadis al- Ma’lul: Qawa’id wa Dhawabith), Beirut: Dar Ibnu Hazm dan Makkah: Al-Maktabah al-Makkiyyah, 1996), h. 9-10
[7] Khalil Ibrahim al-Mulakhatir, Op. Cit., h. 17
[8] Mahmud al- Thahan, Op. Cit., h. 100
[9] Ibid
[10] Ahmad Umar Hasyim, Qawa‘id Ushul al-Hadits, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t.).,, h. 133.
[11] Thahir ibnu Shalih ibnu Ahmad al-Jaza’iriy ad-Dimasyqiy, Taujih  al-Nazhar ila Ushul al-Atsar, (Madinah: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.) h. 264. Lihat juga Ibnu Hajr al-'Asqalaniy, al-Nukat 'ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, (Riyadh: Adhwa al-Salaf, 1998), h. 207.
[12] Ibid., hlm. 181. Lihat juga Al-Thahhan,Op. Cit.,  h. 103.
[13] Khalil Ibrahim al-Mulakhatir, Op. Cit., h. 17, Lih.juga Ali bin Abdullah al-Madiny, 'Ilal al-Hadits wa Ma'rifah al-Rijal, (Halb: Daar al-Nau'iy, 1980), h. 10
[14] Umar Hasyim, Op. Cit., , h. 133
[15] Perawi meriwayatkan hadis dari orang yang sebenarnya tidak ia dengar langsung riwayatnya, namun ia berlagak seolah-olah mendengar hadis tersebut darinya, dengan redaksi yang mengandung unsur sima’ dan lainnya, misalnya: “Qala” atau “‘an” untuk memberikan kesan bahwa ia mendengarnya langsung dari orang tersebut. Lihat Al-Thahhan, Taisir, h.80

[16] Redaksi lengkap hadits tersebut adalah :


 ْ عنَ أنَسَِ بنِْ مَالكٍِ قَالَ صَليَّتُْ خَلفَْ النبَّيِِّ صَلَّى اللهَُّ عَلَيهِْ وَسَلمََّ وَأبَيِ بكَرٍْ وَعُمَرَ وَعُثمَْا نَََ فَكاَنوُا ي سَََْتفَْتحُِونَ بََِ الْحَ مََْد لِل هَََِّ رَ بََِّ الْعَالَمِي نَََ لَ يذَْكرُُونَ بسِْم اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم فِي أوََّلِ قِرَاءَةٍ وَلَ فِي آخِرِهَا
“Dari Anas ibnu Malik, ia berkata: Aku shalat di belakang Nabi saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman; dan mereka langsung mengawali bacaan dengan “Alhamdulillahi rabbi al-‘alamin” tanpa membaca “Bismillahirrahmanirrahim” di awal bacaan maupun di akhirnya.” (Shahih
Muslim, Kitab al Shalah, Bab Hujjah Man Qa la La Yajhar bi al- Basmalah, hadis nomor 606).

[17] Ahmad Umar Hasyim, Op. Cit., h. 134.  Al-Hakim, Ma‘rifah Ulum al-Hadits, (Cairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.),, hlm. 113-119. Lihat juga Khalil Ibrahim, Op. Cit.,h. 25-32

[18] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Qawaid al-Tahdits min Funun Mushtalah al-Hadits( T.t.t.: Isa al-Haji, t.t..), h. 131.